Problem Konstruksi Hukum Alimony
Kolom

Problem Konstruksi Hukum Alimony

Perlu dilakukan pendekatan kompromi untuk menjembatani perbedaan hukum agama dan harmonisasi hukum terkait dengan hukum alimony di Indonesia.

Bacaan 7 Menit

Norma dalam Pasal 8 tersebut merupakan norma gabungan antara hukum Islam dan hukum perdata Barat, kewajiban menyerahkan sebagian gaji bagi bekas istri dibebankan kepada PNS pria berasal dari hukum Islam tradisional, karena laki-laki sebagai pencari nafkah, sementara pemberian gaji kepada bekas istri pasca perceraian sampai bekas istri menikah lagi berasal dari hukum perdata Barat.

Ketentuan Pasal 8 yang demikian sangat problematis, terutama bagi suami PNS muslim, karena kewajiban suami muslim kepada bekas istri pasca perceraian hanya terbatas kepada nafkah iddah dan mut’ah sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Selain itu, jika hukum alimony sebagaimana yang diatur dalam Pasal 41 huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 24 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tidak berlaku secara serta-merta secara hukum, melainkan berdasarkan putusan pengadilan, ketentuan Pasal 8 tersebut berlaku tanpa harus ada putusan pengadilan. Dalam hal ini terdapat ketidakselarasan antar ketentuan hukum dalam sebuah sistem hukum terkait dengan alimony. Oleh karena itu, dalam hal ini perlu dilakukan harmonisasi hukum, dan juga dapat diterapkan asas lex superior derogate legi inferiori, bukan asas lex specialis derogate legi generali, karena terdapat ketidakselarasan antar ketentuan hukum dalam sebuah sistem hukum.

Selain itu, jika kita bandingkan dengan ketentuan pembagian gaji akibat perceraian bagi anggota TNI dan POLRI, ternyata terdapat perbedaan dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 8 PP Nomor 10 Tahun 1983 jo. PP Nomor 45 Tahun 1990. Di lingkungan POLRI terdapat Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengajuan Perkawinan, Perceraian, dan Rujuk Bagi Pegawai Negeri Pada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam Pasal 26 Peraturan Kapolri Nomor 9 Tahun 2010, suami wajib memberikan nafkah kepada istri dan anak selama proses perceraian berlangsung, dengan memberikan nafkah kepada istri paling sedikit 1/3 dari gaji sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, hal ini terkait dengan temporary alimony yang berlaku secara serta-merta. Namun, dalam hal permanent alimony, kewajiban suami memberikan nafkah kepada istri setelah perceraian baru dapat ditetapkan setelah ada keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sebagaimana diatur dalam Pasal 27.

Sementara bagi PNS di lingkungan Departemen Pertahanan, terdapat Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 23 Tahun 2008 tentang Perkawinan, Perceraian, Dan Rujuk Bagi Pegawai di Lingkungan Departemen Pertahanan. Dalam Pasal 11 ayat 2 hanya dijelaskan bahwa hak dan kewajiban yang muncul akibat perceraian, diberlakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan bagi prajurit TNI, terdapat Peraturan Panglima TNI Nomor PERPANG 11/VII/ 2007. Dalam Pasal 13 ayat 2 peraturan tersebut diatur bahwa pemberian nafkah kepada mantan istri/suami yang dicerai dan atau kepada anak yang diasuhnya serta pembagian harta kekayaan akibat perceraian berdasarkan putusan pengadilan. Oleh karena itu, dalam hal ini, kewajiban permanent alimony bagi anggota TNI juga tidak berlaku serta merta, melainkan berdasarkan putusan pengadilan.

Berdasarkan perbandingan dengan beberapa peraturan yang berlaku di lingkungan POLRI dan TNI ternyata juga terdapat perbedaan terkait pelaksanaan kewajiban alimony. Kondisi yang demikian tentu akan menimbulkan disparitas dalam penerapan hukum dan ketidakselarasan antar ketentuan hukum dalam sebuah sistem hukum terkait dengan alimony. Oleh karena itu, perlu dilakukan pendekatan kompromi untuk menjembatani perbedaan yang ada karena perbedaan hukum agama dan harmonisasi hukum terkait dengan hukum alimony di Indonesia.

*)Muhamad Isnwa Wahyudi, Wakil Ketua Pengadilan Agama Pelaihari Kelas IB, lulusan Sekolah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Program Studi Hukum Islam, Konsentrasi Hukum Keluarga.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait