Problem Konstruksi Hukum Alimony
Kolom

Problem Konstruksi Hukum Alimony

Perlu dilakukan pendekatan kompromi untuk menjembatani perbedaan hukum agama dan harmonisasi hukum terkait dengan hukum alimony di Indonesia.

Bacaan 7 Menit
M Isna Wahyudi. Foto: Istimewa
M Isna Wahyudi. Foto: Istimewa

Konteks pluralisme hukum di Indonesia menuntut sebuah unifikasi hukum untuk menjamin kepastian hukum bagi semua warga negara terlepas dari perbedaan suku, agama, ras, dan golongan. Namun demikian, dalam bidang hukum keluarga, yang merupakan hukum yang tidak netral karena sangat terkait dengan hukum agama, terdapat tantangan dalam menciptakan hukum nasional di tengah keragaman agama yang dianut oleh warga negara, salah satunya terkait dengan hukum alimony.

Dalam Ensiklopedi Britannica dijelaskan bahwa alimony merupakan kompensasi yang diberikan oleh salah satu pasangan kepada pasangan lainnya untuk tunjangan keuangan pasca perceraian. Alimony bertujuan untuk membantu pasangan, bukan hukuman bagi pasangan lainnya. Di beberapa tempat, istilah alimony hanya berarti sebuah penyelesaian harta kekayaan tidak terkait dengan tunjangan masa depan. Biasanya alimony diberikan dari suami kepada istri tetapi kadang diberikan dari istri kepada suami (britannica.com).

Kewajiban alimony pertama kali dibebankan oleh orang-orang Mesir, Yunani, dan Yahudi. Praktik alimony membantu untuk menghindari permusuhan dengan kerabat istri yang diceraikan. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hammurabi, seorang suami dari Mesopotamia yang menceraikan istri tanpa alasan harus menebus denda sebuah lempengan perak. Sama halnya, Hukum Romawi di bawah kekuasaan kaisar Justinian I menuntut sebuah tebusan emas dari pasangan yang bersalah dalam sebuah perceraian (britannica.com).

Di Inggris, alimony murni sebuah produk undang-undang yang mungkin muncul dari keyakinan gereja abad pertengahan bahwa perceraian tidak dapat menghentikan kewajiban-kewajiban perkawinan di mata Tuhan. Sebelum tahun 1857, Pengadilan Gereja Katolik (Ecclesiastical courts) yang menerapkan sebagian besar Hukum Kanonik memiliki kewenangan memeriksa kasus-kasus perkawinan, dan pembayaran alimony. Perkawinan merupakan sakramen dan tidak dapat diputuskan. Perceraian sebagai perpisahan secara hukum oleh pengadilan diberikan hanya karena alasan pasangan berzina dan melakukan kekejaman. Perpisahan secara hukum oleh pengadilan (legal separation) ini tidak ditujukan untuk membubarkan perkawinan, tetapi sebaliknya untuk merenungkan kemungkinan rukun kembali.

Baca juga:

Negara-negara Skandinavia (Norwegia, Denmark, Swedia, Icelandia, dan Finlandia) memperlakukan suami dan istri secara setara dalam gugatan perceraian, yang mengizinkan tuntutan timbal balik bagi yang mengalami masalah keuangan akibat perceraian. Beberapa negara -seperti Rusia, Austria, Belgia, dan Romania- mengizinkan perceraian sebagai sebuah pembatalan perjanjian yang normal, dengan persoalan keuangan diselesaikan dengan kesepakatan bersama (britannica.com).

Alimony ada yang bersifat sementara untuk bantuan dan biaya-biaya selama proses perceraian; maupun yang bersifat permanen untuk tunjangan keuangan pasca perceraian. Alimony sementara dirancang untuk memungkinkan seseorang untuk mengajukan atau mempertahankan gugatan perceraian. Pemberian alimony sementara atau permanen berada dalam wilayah diskresi pengadilan, baik berapa kali dan jumlah pembayaran (britanica.com).

Di Indonesia, ketentuan tentang alimony diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 41 huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur bahwa “Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.” Kata “dapat” dalam Pasal tersebut merupakan formula disjungtif, yang mengandung arti kebolehan, sehingga hakim memiliki kewenangan karena jabatannya (ex-officio) untuk menentukan kewajiban kepada bekas suami, meski tidak ada tuntutan dari pihak istri. Namun, dalam Pasal tersebut tidak ada penjelasan terkait sampai kapan kewajiban kepada bekas suami tersebut berlaku, apakah sampai bekas istri menikah kembali, meninggal, atau memiliki kemampuan keuangan secara mandiri. Rumusan Pasal yang demikian karena terkait sampai kapan kewajiban bekas suami pasca perceraian terhadap bekas istri terdapat keragaman hukum berdasarkan agama, antara muslim dan non-muslim. Ketentuan Pasal ini terkait dengan permanent alimony, yaitu tunjangan keuangan yang dibayarkan pasca terjadi perceraian.

Jika ditelusuri, dapat ditemukan bahwa ketentuan Pasal 41 huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 merupakan bentuk kompromi antara ketentuan hukum perdata Barat dengan ketentuan hukum Islam. Dalam Pasal 225 KUH Perdata diatur bahwa bila suami atau istri, yang atas permohonannya dinyatakan perceraian, tidak mempunyai penghasilan yang mencukupi untuk biaya penghidupan, maka pengadilan akan menetapkan pembayaran, tunjangan hidup baginya dari harta pihak lain, dalam arti bahwa penentuan kewajiban alimony dalam KUH Perdata berdasarkan kemampuan pasangan. Sedangkan dalam hukum Islam, penentuan kewajiban alimony berdasarkan jenis kelamin, yaitu pihak suami, karena tunjangan nafkah pasca perceraian yang mencakup nafkah ‘iddah dan mut’ah hanya dibebankan kepada bekas suami, berdasarkan ketentuan Pasal 149 dan Pasal 158 Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Pengaturan permanent alimony bagi muslim terdapat dalam KHI. Dalam Pasal 149 KHI diatur bahwa apabila perkawinan putus karena talak maka bekas suami wajib: a) memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istri, kecuali bekas istri belum dicampuri, dan b) nafkah, maskan, dan kiswah kepada bekas istri selama dalam masa iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak bain atau nusyuz, dan dalam keadaan tidak hamil. Kemudian dalam Pasal 158 KHI ditentukan bahwa mut`ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat: a) belum ditetapkan mahar bagi isteri yang telah dicampuri, dan b) perceraian itu atas kehendak suami. Sementara dalam Pasal 159 KHI disebutkan bahwa mut`ah dianjurkan diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada Pasal 158. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, maka kewajiban pembayaran alimony bagi suami muslim hanya terbatas pada nafkah selama dalam masa iddah, kurang lebih selama tiga kali suci atau 90 hari atau sampai melahirkan jika bekas istri dalam kondisi hamil, dan mut’ah.

Sementara pengaturan permanentalimony bagi non-muslim terdapat dalam KUH Perdata Pasal 225 yang menyatakan bahwa bila suami atau istri, yang atas permohonannya dinyatakan perceraian, tidak mempunyai penghasilan yang mencukupi untuk biaya penghidupan, maka pengadilan negeri akan menetapkan pembayaran, tunjangan hidup baginya dari harta pihak yang lain. Kewajiban untuk memberi tunjangan hidup tersebut berlangsung sampai dengan kematian mantan suami atau istri sebagaimana diatur dalam Pasal 227. Namun demikian, berdasarkan Pasal 329b, penetapan mengenai tunjangan nafkah tersebut dapat diubah atau dicabut oleh hakim.

Ketentuan hukum terkait kewajiban temporary alimony dapat ditemukan dalam Pasal 24 ayat 2 huruf a Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dan Pasal 136 ayat 2 huruf a KHI, yang menyatakan bahwa selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan dapat: a. menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami. Penentuan kewajiban nafkah dalam hal ini juga berdasarkan jenis kelamin, yaitu pihak suami, selaras dengan ketentuan Pasal 41 huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, sebagai bentuk kompromi antara hukum perdata Barat dengan hukum Islam.

Pengaturan alimony dalam berbagai peraturan perundang-undangan di atas telah mengakomodir perbedaan yang ada di masyarakat karena faktor perbedaan hukum agama. Namun demikian, terdapat pengaturan alimony yang tampaknya tidak mengakomodir keragaman hukum agama yang ada yaitu terkait dengan pembagian gaji suami PNS apabila terjadi perceraian.

Dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, apabila perceraian atas kehendak PNS pria maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas istri dan anak-anaknya, dengan pembagian gaji sepertiga untuk PNS pria, sepertiga untuk bekas istrinya, dan sepertiga untuk anaknya, dan apabila dari perkawinan tersebut tidak ada anak maka bagian gaji yang wajib diserahkan oleh Pegawai Negeri Sipil pria kepada bekas isterinya ialah setengah dari gajinya, sampai dengan bekas isteri Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan kawin lagi.

Norma dalam Pasal 8 tersebut merupakan norma gabungan antara hukum Islam dan hukum perdata Barat, kewajiban menyerahkan sebagian gaji bagi bekas istri dibebankan kepada PNS pria berasal dari hukum Islam tradisional, karena laki-laki sebagai pencari nafkah, sementara pemberian gaji kepada bekas istri pasca perceraian sampai bekas istri menikah lagi berasal dari hukum perdata Barat.

Ketentuan Pasal 8 yang demikian sangat problematis, terutama bagi suami PNS muslim, karena kewajiban suami muslim kepada bekas istri pasca perceraian hanya terbatas kepada nafkah iddah dan mut’ah sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Selain itu, jika hukum alimony sebagaimana yang diatur dalam Pasal 41 huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 24 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tidak berlaku secara serta-merta secara hukum, melainkan berdasarkan putusan pengadilan, ketentuan Pasal 8 tersebut berlaku tanpa harus ada putusan pengadilan. Dalam hal ini terdapat ketidakselarasan antar ketentuan hukum dalam sebuah sistem hukum terkait dengan alimony. Oleh karena itu, dalam hal ini perlu dilakukan harmonisasi hukum, dan juga dapat diterapkan asas lex superior derogate legi inferiori, bukan asas lex specialis derogate legi generali, karena terdapat ketidakselarasan antar ketentuan hukum dalam sebuah sistem hukum.

Selain itu, jika kita bandingkan dengan ketentuan pembagian gaji akibat perceraian bagi anggota TNI dan POLRI, ternyata terdapat perbedaan dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 8 PP Nomor 10 Tahun 1983 jo. PP Nomor 45 Tahun 1990. Di lingkungan POLRI terdapat Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengajuan Perkawinan, Perceraian, dan Rujuk Bagi Pegawai Negeri Pada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam Pasal 26 Peraturan Kapolri Nomor 9 Tahun 2010, suami wajib memberikan nafkah kepada istri dan anak selama proses perceraian berlangsung, dengan memberikan nafkah kepada istri paling sedikit 1/3 dari gaji sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, hal ini terkait dengan temporary alimony yang berlaku secara serta-merta. Namun, dalam hal permanent alimony, kewajiban suami memberikan nafkah kepada istri setelah perceraian baru dapat ditetapkan setelah ada keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sebagaimana diatur dalam Pasal 27.

Sementara bagi PNS di lingkungan Departemen Pertahanan, terdapat Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 23 Tahun 2008 tentang Perkawinan, Perceraian, Dan Rujuk Bagi Pegawai di Lingkungan Departemen Pertahanan. Dalam Pasal 11 ayat 2 hanya dijelaskan bahwa hak dan kewajiban yang muncul akibat perceraian, diberlakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan bagi prajurit TNI, terdapat Peraturan Panglima TNI Nomor PERPANG 11/VII/ 2007. Dalam Pasal 13 ayat 2 peraturan tersebut diatur bahwa pemberian nafkah kepada mantan istri/suami yang dicerai dan atau kepada anak yang diasuhnya serta pembagian harta kekayaan akibat perceraian berdasarkan putusan pengadilan. Oleh karena itu, dalam hal ini, kewajiban permanent alimony bagi anggota TNI juga tidak berlaku serta merta, melainkan berdasarkan putusan pengadilan.

Berdasarkan perbandingan dengan beberapa peraturan yang berlaku di lingkungan POLRI dan TNI ternyata juga terdapat perbedaan terkait pelaksanaan kewajiban alimony. Kondisi yang demikian tentu akan menimbulkan disparitas dalam penerapan hukum dan ketidakselarasan antar ketentuan hukum dalam sebuah sistem hukum terkait dengan alimony. Oleh karena itu, perlu dilakukan pendekatan kompromi untuk menjembatani perbedaan yang ada karena perbedaan hukum agama dan harmonisasi hukum terkait dengan hukum alimony di Indonesia.

*)Muhamad Isnwa Wahyudi, Wakil Ketua Pengadilan Agama Pelaihari Kelas IB, lulusan Sekolah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Program Studi Hukum Islam, Konsentrasi Hukum Keluarga.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait