Problem Unifikasi Hukum dalam Konteks Pluralisme Hukum
Kolom

Problem Unifikasi Hukum dalam Konteks Pluralisme Hukum

​​​​​​​Terdapat konflik norma dalam peraturan perundang-undangan tentang hak nafkah pasca perceraian bagi istri muslim dalam perkara cerai gugat.

Bacaan 4 Menit

Penerapan Pasal 41 huruf c UU No. 1 Tahun 1974 masih relevan jika diterapkan dalam perkara cerai talak, kata “dapat” dalam pasal tersebut memungkinkan hakim untuk membebankan kepada suami kewajiban nafkah ‘iddah dan mut’ah bagi bekas istri secara ex-officio. Namun, Pasal 41 huruf c UU No. 1 Tahun 1974 tidak relevan ketika diterapkan dalam perkara cerai gugat.

Selain itu, ketentuan Pasal 41 huruf c UU No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur tenggang waktu pemberian tunjangan hidup bekas suami kepada bekas istri, sementara dalam hukum Islam, pembayaran nafkah ‘iddah berlangsung selama bekas istri dalam waktu tunggu yaitu 3 kali suci, atau 90 hari, atau sampai melahirkan jika dalam kondisi hamil.

Persoalan di atas juga mengantarkan kepada problem yang akhir-akhir ini sedang mengemuka terkait dengan penerapan PERMA No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, yang dengan mempertimbangkan kesetaraan gender dan non-diskriminasi, telah mendorong sebagian hakim untuk dapat mengabulkan tuntutan nafkah pasca perceraian dalam perkara cerai gugat di peradilan agama, jika tidak menggunakan kedudukan sebagai hakim (ex-officio) untuk membebankan kewajiban nafkah iddah dan mut’ah kepada bekas suami dalam perkara cerai gugat selama istri tidak terbukti nusyuz sebagaimana termuat dalam SEMA No. 3 Tahun 2018, angka III, huruf A, nomor 3.

Terobosan yang pertama tentu sulit dapat ditemukan dasar hukumnya. Meski terdapat ketentuan Pasal 24 ayat 2 huruf a Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dan Pasal 136 ayat 2 huruf a KHI, ketentuan tersebut berlaku untuk nafkah selama berlangsung proses perceraian, bukan nafkah pasca perceraian. Sementara untuk terobosan kedua dapat ditemukan dasarnya, meski terbatas pada nafkah ‘iddah, yaitu putusan Mahkamah Agung Nomor 137 K/AG/2007 tanggal 6 Februari 2008 dan Nomor 53 K/AG/2007 tanggal 12 Maret 2008.

Pertimbangan hukum kedua putusan tersebut adalah bahwa meski gugatan diajukan oleh istri, tetapi istri tidak terbukti telah berbuat nusyuz, oleh karena itu, suami harus dihukum untuk memberikan nafkah ‘iddah kepada istri dengan alasan isteri harus menjalani masa ‘iddah yang antara lain untuk mengetahui kebersihan rahim (istibra’) dan terkait dengan kepentingan suami, sesuai ketentuan Pasal 41 huruf c UU No. 1/1974 jo. Pasal 149 KHI huruf b. Meski jika dicermati, Pasal 149 huruf b KHI terdapat klausula “kecuali istri telah dijatuhi talak bain, atau nusyuz, dan dalam keadaan tidak hamil,” dan dalam perkara cerai gugat, talak yang dijatuhkan oleh pengadilan adalah talak bain sughra.

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dikatakan bahwa unifikasi hukum dalam konteks pluralisme hukum di Indonesia masih menyisakan masalah berupa, dalam hal ini, konflik norma dalam peraturan perundang-undangan tentang hak nafkah pasca perceraian bagi istri muslim dalam perkara cerai gugat. Konflik yang demikian muncul karena norma dalam UU No. 1 Tahun 1974 tidak membedakan perceraian berdasarkan siapa yang mengajukan, sementara di peradilan agama perceraian dibedakan berdasarkan siapa yang mengajukan yang berimplikasi terhadap hak dan kewajiban tunjangan hidup pasca perceraian.

Konflik yang demikian telah mengantarkan kepada persoalan dalam penerapan Pasal 41 huruf c UU No. 1 Tahun 1974 di lingkungan Peradilan Agama dalam perkara cerai gugat. Untuk menghindari konflik tersebut tentu ke depan perlu pembaruan hukum acara perceraian di lingkungan Peradilan Agama yang menempatkan kedudukan suami dan istri secara setara dalam perkara perceraian dan kewenangan untuk memutuskan perkawinan cukup diserahkan kepada hakim.

*)Muhamad Isna Wahyudi, Ketua Pengadilan Agama Kuala Kapuas, Kapuas, Kalimantan Tengah dan lulusan Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait