Problematik Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja
Utama

Problematik Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja

Bertentangan dengan pertimbangan hukum MK yang menyebut UU Cipta Kerja sebagai produk hukum yang bersifat strategis; membuka ruang multitafsir; menutup akses terhadap keadilan; dan berpotensi revisi UU Cipta Kerja sifatnya parsial.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Ketiga, pemisahan aspek proses pembentukan dengan substansi/materi UU. Menurut Violla, akibat splitsing pada judicial review, disayangkan MK tidak menegaskan bahwa cacat formil dapat berimplikasi pada substansi yang inkonstitusional. Akibatnya, perbaikan UU No.11 Tahun 2020 berpotensi dilakukan secara parsial yakni aspek pembentukannya saja.

Keempat, jangka waktu perbaikan selama 2 tahun memberikan kepastian hukum, tapi dikhawatirkan prosesnya nanti terburu-buru, sehingga penyusunan dan pembahasan tidak dilakukan secara proporsional dan partisipatif.

Untuk menindaklanjuti putusan tersebut, Violla menyebut beberapa hal yang perlu dicermati. Antara lain memasukan revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan UU No.11 Tahun 2020 dalam Prolegnas Prioritas 2022. UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan harus direvisi terlebih dulu untuk mengatur metode omnibus law. Kemudian dilanjutkan revisi UU No.11 Tahun 2020 dari tahap awal.

“Revisi terhadap UU No.11 Tahun 2020 bukan hanya proses pembentukannya, tapi juga substansinya,” sarannya.

Daya ikat UU Cipta Kerja gugur

Akademisi FH Universitas Andalas, Charles Simabura, mengatakan daya ikat UU No.11 Tahun 2020 gugur karena putusan MK menyatakan inkonstitusional bersyarat dan daya lakunya hanya untuk ketentuan yang tidak berdampak luas dan strategis. Artinya, secara faktual tindakan dan kebijakan yang dimandatkan UU No.11 Tahun 2020 tidak dapat dilaksanakan atau ditangguhkan.

“MK tidak membatalkan materi muatan namun menangguhkan (menonaktifkan/membekukan) segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas. Serta tidak dibenarkan menerbitkan segala peraturan pelaksana baru, tujuannya untuk mencegah tindakan inkonstitusional berlanjut,” kata Charles.

Untuk menindaklanjuti putusan MK itu, Charles menilai tidak hanya mencantumkan metode omnibus law dengan cara merevisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Revisi harus dilakukan secara menyeluruh terutama dalam hal pemenuhan partisipasi masyarakat yang maksimal dan bermakna.

Selain itu, pemenuhan ketentuan Pasal 22A UUD Tahun 1945 (tata cara pembentukan). Pemenuhan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 5 huruf a, huruf e, huruf f, dan huruf g UU No.12 Tahun 2011 yakni asas kejelasan tujuan, asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, asas kejelasan rumusan, dan asas keterbukaan.

Tags:

Berita Terkait