Problematika Eksekusi Putusan Peradilan Agama
Terbaru

Problematika Eksekusi Putusan Peradilan Agama

Berdasarkan daftar eksekusi belum terlaksana pada lingkungan Peradilan Agama seluruh Indonesia, ditemukan fakta bahwa harta bersama menduduki porsi terbesar yang terhambat.

Oleh:
Ferinda K Fachri
Bacaan 3 Menit

“Bila dari analisisnya ditemukan fakta pengajuan PK atau perlawanan itu hanya sebatas upaya mengulur-ulur waktu dan tidak beralasan kuat, maka proses eksekusi bisa dilanjutkan,” paparnya.

Selanjutnya, berkenaan dengan amar putusan yang tidak bersifat condemnatoir atau amar putusan tidak memuat batas-batas obyek eksekusi yang jelas. Mengatasi persoalan itu, kata dia, bisa diajukan perkara baru dengan meminta Pengadilan melakukan perbaikan terhadap amar putusan awal yang tidak bisa dilakukan eksekusi. Tak hanya itu, masalah eksekusi putusan kerap menemui kejadian, seperti obyek perkara sudah tidak ada atau dikuasai pihak ketiga yang tidak terlibat sebagai pihak dalam perkara atau pengamanan tidak mendukung.

Bila melihat hambatan dalam lingkungan peradilan agama sendiri melalui berdasarkan daftar eksekusi belum terlaksana pada lingkungan Peradilan Agama seluruh Indonesia sampai 9 Februari 2022 sebagaimana diakses dari SIPP Mahkamah Agung, ditemukan fakta bahwa harta bersama menduduki posisi pertama dengan 46%; kewarisan kedua dengan 26%; dan cerai talak sebesar 8% di urutan ketiga.

“Segera dilakukan inventarisasi permasalahan dan kendala eksekusi secara umum, dan secara khusus terhadap perkara-perkara yang eksekusinya banyak tidak terlaksana. Kita butuh mempelajari dimana kesalahannya ini, dimana letak penyakitnya? Kita coba melihat kenapa porsi harta bersama ini menempati yang terbesar dalam hal eksekusi yang terhambat.  Inventarisasi permasalahan teknis dan administrasi akan menjadi bahan dalam Rapat Pleno Kamar yang diadakan setiap tahun oleh Mahkamah Agung.”

Dia mengakui mengenai eksekusi harta bersama menjadi pekerjaan rumah badan peradilan. Seperti dalam hal eksekusi harta bersama berupa bangunan yang berdiri di atas tanah bawaan salah satu pihak misalnya, tidak dapat dipungkiri Pengadilan Agama masih sering mengalami kesulitan untuk melakukan eksekusi.

Termasuk pula eksekusi terhadap barang bergerak (kendaraan bemotor, red) karena tidak jarang objek eksekusi disembunyikan atau bahkan dialihkan kepemilikannya. Mengatasi itu, Andi berpandangan bahwa Ketua Majelis yang memeriksa perkara kiranya bisa mempertimbangkan secara matang atas kemungkinan yang menghambat proses pelaksanaan putusan itu.

Dalam kesempatan ini, Andi juga menyampaikan bahwa MA telah mencetak sejumlah kebijakan untuk mengatasi masalah yang menghantui eksekusi putusan. Seperti dengan mereformasi sistem eksekusi putusan perdata dimana kelembagaan eksekusi di badan peradilan dikuatkan. Kemudian aturan dalam bentuk PERMA mengenai pedoman beracara perdata dan pelaksanaan eksekusinya.

Lebih jauh lagi, MA menyoroti kualitas dan kuantitas SDM Pengadilan, khususnya peran Jurusita juga ditingkatkan. Lalu, tata kelola data eksekusi putusan beserta integrasi sistem informasi juga dilakukan perbaikan. Untuk mewujudkan itu, kolaborasi MA dengan kementerian atau lembaga lain melalui MoU lintas kementerian/lembaga untuk membangun ekosistem eksekusi perdata juga dilakukan.

“Visi tanpa eksekusi hanyalah lamunan. Eksekusi tanpa visi adalah mimpi buruk. Bagi Ketua Pengadilan, eksekusi adalah seni,” tutupnya.

Tags:

Berita Terkait