Problematika Pembuktian dalam Persidangan Elektronik
Kolom

Problematika Pembuktian dalam Persidangan Elektronik

Terlepas dari masalah yang mungkin muncul dalam pelaksanaan sidang, tapi hadirnya persidangan elektronik ini membuat peradilan yang murah, cepat, efisien dan efektif serta terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.

Bacaan 2 Menit

 

Meskipun dokumen bukti yang telah di-upload oleh Penggugat dan Tergugat secara elektronik dalam system peradilan elektronik dapat diklasifikasikan sebagai alat bukti hukum yang sah (vide pasal 5 UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi  dan Transaksi Elektronik), namun tetap berdasarkan hukum acara yang berlaku dokumen elektronik tersebut tetap harus dicocokan dengan dokumen aslinya. Sayangnya belum ada penjelasan lebih lanjut dalam Perma No. 1 Tahun 2019 ini tentang bagaimana dan kapan proses verifikasi/pencocokan bukti ini dilaksanakan.

 

Penggunaan media komunikasi audio visual

Berikutnya dalam pasal 24 angka 1 Perma No. 1 Tahun 2019 tersebut juga diatur tentang dimungkinkannya pemeriksaan saksi dan/atau ahli melalui media komunikasi audio visual sepanjang disepakati para pihak dan dilaksanakan dengan infrastruktur pada Pengadilan (angka 2). Hal ini dapat diartikan proses mendengar keterangan saksi/ahli tetap dilakukan di pengadilan dan dihadiri oleh para pihak seperti sidang pada umumnya.

 

Penggunaan sarana media komunikasi audio visual untuk mendengar keterangan saksi ternyata pernah dilakukan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam persidangan perkara pidana yang menjerat Rahardi Ramelan pada tahun 2002. Saat itu BJ Habibie yang sedang berada di Hamburg, Jerman memberikan kesaksian melalui teleconference dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

 

Dalam perkembangan teknologi komunikasi yang semakin pesat ini, penggunaan media komunikasi audio visual untuk kebutuhan pemeriksaan saksi tentunya memerlukan infrastruktur yang mumpuni dan juga aman. Permasalahannya adalah bagaimana jika ada Pengadilan di daerah terpencil belum memiliki sarana prasarana yang mumpuni dan tidak didukung jaringan internet/telekomunikasi yang stabil.

 

Keterangan saksi/ahli merupakan salah satu alat bukti dalam pembuktian perdata, jangan sampai hal ini terhambat karena masalah teknis. Persidangan elektronik bertumpu pada kesiapan infrastruktur sarana prasarana sehingga sudah sepatutnya hal ini perlu mendapatkan perhatian khusus. Kalaupun Pengadilan Negeri setempat belum siap sehingga tidak dapat melakukan pemeriksaan saksi/ahli melalui mekanisme penggunaan media audio visual, maka pemindahan tempat sidang ke lokasi lain yang memiliki jaringan infrastruktur internet yang reltif lebih stabil bisa menjadi alternatif. Penulis berpendapat tidak ada salahnya jika Mahkamah Agung dapat bersifat fleksibel dan mempertimbangkan opsi ini.

 

Selain itu apabila membaca frasa “sepanjang disepakati” dalam pasal 24 ayat 1 Perma No.1 Tahun 2019, maka ada kemungkinan para pihak tidak setuju menggunakan pemeriksaan saksi dengan mekanisme penggunaan media audio visual. Tentunya hal ini perlu dipertegas lebih lanjut apakah ada alternatif lain ataukah kembali kepada cara persidangan konvensional (Majelis Hakim, Para Pihak, Saksi/Ahli hadir di Pengadilan Negeri)

 

Sinkronisasi Hukum Acara

Adanya kewajiban penyerahan bukti di awal dalam persidangan elektronik merupakan terobosan perubahan hukum acara, sekaligus menunjukkan adanya perbedaan dengan hukum acara perdata konvensional sebagaimana diatur dalam HIR/Rbg. Saat ini setidaknya Mahkamah Agung telah menunjuk beberapa Pengadilan sebagai pilot project persidangan elektronik ini, di antaranya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan akan diberlakukan bertahap dan diharapkan pada tahun 2020 telah diimplementasikan sepenuhnya. 

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait