Problematika Pemulihan Korban Korupsi
Kolom

Problematika Pemulihan Korban Korupsi

Dalam suatu penanganan perkara, pemulihan korban seringkali tidak dijadikan tujuan dilakukannya proses hukum.

Bacaan 5 Menit

Sedangkan penderitaan yang dirasakan korban terkesan diabaikan begitu saja, bahkan tidak juga disebut dalam tuntutan atau pertimbangan majelis hakim. Mestinya, seperti yang diucapkan oleh Gustav Radbruc, hukum harus memuat keadilan, kepastian, dan kemanfaatan, bukan hanya terhadap pelaku, akan tetapi kepada korban itu sendiri.

J.E Sahetapy dalam kajiannya mengenai viktimologi telah merumuskan hak-hak korban yang harus dipenuhi saat penanganan perkara berlangsung. Dari sepuluh hak, setidaknya ada dua yang relevan dengan tulisan ini, yakni hak mendapat pelayanan (bantuan, restitusi, kompensasi) dan hak mendapat kembali hak miliknya. Atas dasar ini kemudian para korban korupsi bansos, sebagaimana dijelaskan pada bagian awal tulisan, menggugat Juliari sebesar Rp16,2 juta. Jumlah itu terlihat kecil jika dibandingkan dengan perolehan Juliari dari praktik korupsinya yang mencapai Rp32 miliar.

Pada dasarnya ada tiga syarat utama yang harus dipenuhi korban untuk mengajukan gugatan melawan pelaku kejahatan. Pertama, pihak penggugat harus merupakan korban atas kejahatan yang dilakukan oleh pelaku. Kedua, akibat kejahatan yang dilakukan oleh pelaku, korban menderita dan menimbulkan sejumlah kerugian, baik materiil maupun imateriil. Ketiga, timbul hubungan kausalitas antara kerugian yang dialami oleh korban dengan kejahatan yang dilakukan oleh pelaku. Jika keseluruhan aspek ini dapat dihadirkan oleh korban, maka tidak ada alasan bagi aparat penegak hukum untuk menolak gugatannya.

Kembali pada persoalan penetapan Pengadilan Tipikor di atas, terutama menyoal penggunaan Pasal 98 KUHAP sebagai alternatif pemulihan korban korupsi. Ada sejumlah poin penting perihal Bab XIII (Pasal 98 - Pasal 101) KUHAP tentang penggabungan perkara gugatan ganti kerugian itu.

Pertama, untuk dapat diperiksa oleh majelis hakim, gugatan harus didaftarkan sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan. Bagian ini bisa disebut aspek formil, karena belum masuk pada pembuktian kerugian yang dialami oleh korban. Kedua, jika sudah diperiksa, maka pembuktian korban mengarah pada legalstanding sebagai penggugat, bukti yang diajukan, dan argumentasi logis perihal kausalitas antara kerugian penggugat dengan materi dakwaan. Jadi, jika gugatan korban korupsi bansos ditolak sejak awal di saat tuntutan belum dibacakan, maka wajar jika kemudian banyak pihak mengkritisi penetapan Pengadilan Tipikor itu.

Harus diakui, memang sulit untuk bisa memahami argumentasi hukum dan logika di balik penetapan tersebut. Misalnya, bagaimana mungkin Pasal 98 KUHAP diterapkan di pengadilan yang berbeda dengan persidangan pokok perkara pidananya? bukankah itu merupakan mekanisme gugatan perdata? Selain itu, memindahkan gugatan ke pengadilan yang sesuai dengan domisili terdakwa sudah barang tentu akan memperlambat proses pemulihan korban dan hal tersebut justru bertolak belakang dengan cita-cita pembentukan Pasal 98 KUHAP sendiri. Seharusnya, gugatan itu diterima terlebih dahulu oleh majelis hakim, baru kemudian para korban korupsi bansos diminta membuktikan segala dalil yang telah diajukan.

Penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Tipikor itu membawa dampak yang tidak sedikit bagi korban korupsi bansos dan masyarakat. Selain mengubur harapan korban yang menginginkan adanya pertanggungjawaban pelaku secara langsung, penetapan itu juga mempersempit kemungkinan korban ke depan untuk berdaya dalam suatu proses hukum.

*)Kurnia Ramadhana, Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait