Problematika Penerapan Hukum Waris Islam di Indonesia
Utama

Problematika Penerapan Hukum Waris Islam di Indonesia

Masih terdapat sejumlah permasalahan dalam hukum waris Islam, dari masalah poligami, anak hasil kloning, hingga kewenangan membuat surat keterangan waris.

Oleh:
Ferinda K Fachri
Bacaan 3 Menit
Ketua Umum INI Yualita Widyadari dan Dosen FHUI Neng Djubaedah. Foto: FKF
Ketua Umum INI Yualita Widyadari dan Dosen FHUI Neng Djubaedah. Foto: FKF

Hukum kewarisan merupakan hukum aturan pemindahan hak kepemilikan peninggalan pewaris kepada ahli waris. Mulai dari menentukan siapa saja pihak yang berhak menjadi ahli waris, berapa bagian masing-masing, serta bagaimana pelaksanaan harta peninggalan tersebut, hingga bagaimana pengadilan menetapkan permohonan seseorang terkait kewarisan. Pembagian masing-masing ahli waris tersebut dilandasi dalil dalam kitab suci Al-Qur'an, Hadist Nabi, dan kesepakatan para ulama.

“Setiap muslim atau orang yang beragama Islam wajib melaksanakan dan mengamalkan ajaran-ajaran nabi dan rasul termasuk menggunakan hukum waris islam dalam pembagian warisan,” ujar Ketua Umum Ikatan Notaris Indonesia (INI) Yualita Widyadari dalam webinar bertajuk “Problematika dan Penerapan Hukum Kewarisan Islam dalam Praktik Kenotariatan di Indonesia”, Selasa (8/3/2022).

Dalam kesempatan yang sama, akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Neng Djubaedah menjelaskan dalam temuannya terdapat sejumlah permasalahan dalam hukum waris Islam. Pertama, perihal pembagian harta warisan dalam perkawinan poligami. Menjawab itu, setidaknya terdapat 2 metode yang dia sampaikan yakni metode bagi rata dan metode rasio lamanya perkawinan.

Kedua, tentang restitusi/diyat korban meninggal dunia sebelum atau setelah menerima diyat/restitusi. “Saya terinspirasi hal ini pada tahun 2016, (ketika) saya diundang ILC tentang kasus Yuyun. Kasus yuyun itu ada 14 orang yang memperkosa Yuyun sampai membunuh Yuyun. Kemudian apakah orang tuanya cukup puas hanya dengan pelaku itu dihukum? Dalam Islam, itu ada hak untuk korban atau keluarga korban yaitu diyat (restitusi). Berapa jumlah restitusinya? Hal itu tentu harus diberikan kepada para ahli waris,” ungkap Neng.

Baca:

Begitu pula, lanjutnya, perihal ahli waris beda agama yang dari kacamatanya banyak yang tidak sependapat dengannya. Neng berpandangan orang non-Islam bisa menerima wasiat, hibah, atau wasiat wajibah. Terkait ini, akademisi senior itu menerangkan bahwa pemikirannya mengenai kewarisan antar orang Islam dengan bukan Islam (beda agama) itu sejalan dengan Fatwa MUI No.5/MUNAS VII/MUI/9/2005 tentang Kewarisan Beda Agama.

Masalah lainnya adalah mengenai anak luar perkawinan, meski sebagaimana putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010, seorang anak yang terlahir di luar perkawinan bukan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, namun juga dengan ayah (biologis) nya selama dapat dibuktikan. Kemudian bagi anak hasil kohabitasi atau anak hasil "kumpul kebo" nantinya sama dengan anak hasil zinah.

Tags:

Berita Terkait