Problematika Tanggung Jawab Korporasi dalam Kasus Illegal Logging

Problematika Tanggung Jawab Korporasi dalam Kasus Illegal Logging

Ada kesalahan perumusan tindak pidana yang dilakukan korporasi dalam UU No. 18 Tahun 2013. Setelah dikoreksi lewat UU Cipta Kerja, masih ada problematika hukum lain yang perlu diperhatikan.
Problematika Tanggung Jawab Korporasi dalam Kasus Illegal Logging
Ilustrasi illegal logging. Foto: pexels.com

Suara Dedi Mulyadi tegas dan meninggi. Wakil Ketua Komisi IV DPR itu meminta agar pembentuk undang-undang mengubah perspektif tentang hutan dan lingkungan, tak melulu melihatnya sebagai barang ekonomi. Pembentuk undang-undang perlu melihat hutan berkaitan dengan spiritualitas kemanusiaan. Manusia yang terhubung dengan hutan dan lingkungan adalah manusia yang bahagia. Ia meminta agar perusakan hutan secara legal dikaji ulang. Perusakan hutan sama saja merusak masa depan kemanusiaan. “Kejahatan terhadap hutan dan lingkungan adalah kejahatan terhadap kemanusiaan,” ujarnya dalam suatu seminar, Rabu (15/6/2022) lalu.

Pesan tegas Dedi itu tak lepas dari rencana DPR melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). Badan Keahlian DPR sudah meminta masukan sejumlah pihak, dan Dedi menjadi pembicara kunci dalam seminar. Dedi meminta agar kearifan leluhur dan masyarakat adat mendapatkan perhatian dari pembentuk undang-undang, sebab cara pandang demikian sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 lazim dikenal sebagai payung hukum pemberantasan tindak pidana illegal logging. UU P3H dapat dibaca dalam satu paket dengan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (dan perubahannya), dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Dibandingkan dua Undang-Undang yang disebut terakhir, eksistensi UU P3H tidak kalah penting dalam rangka penegakan hukum.

Yazid Nurhuda, Direktur Penegakan Hukum Pidana Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), menyebutkan sepanjang periode 2015-2022, ada 797 perkara bidang kehutanan yang dinyatakan berkasnya lengkap (lazim disebut P-21). Sebanyak 633 perkara adalah berupa pembalakan liar, sisanya berupa perambahan kawasan hutan. Dilihat dari Undang-Undang yang dipakai untuk menjerat pelaku, UU P3H sangat mendominasi, 670 pakai UU P3H berbanding 91 perkara menggunakan UU No. 41 Tahun 1999. Ada juga yang dipakai secara alternatif.

Masuk ke akun Anda atau berlangganan untuk mengakses Premium Stories
Premium Stories Professional

Segera masuk ke akun Anda atau berlangganan sekarang untuk Dapatkan Akses Tak Terbatas Premium Stories Hukumonline! Referensi Praktis Profesional Hukum

Premium Stories Professional