Prof Bayu: Latah Menggunakan Omnibus Berpotensi Munculkan Masalah
Utama

Prof Bayu: Latah Menggunakan Omnibus Berpotensi Munculkan Masalah

Penggunaan metode omnibus law bukan berarti bebas memasukan berbagai macam UU dalam satu UU. Tapi UU yang masuk dalam satu omnibus harus memiliki tema dan latarbelakang yang sama.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember Prof Bayu Dwi Anggono. Foto: RES
Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember Prof Bayu Dwi Anggono. Foto: RES

Pembentukan peraturan perundangan menggunakan metode omnibus law belakangan kerap kali menjadi pilihan pemerintah dan DPR. Metode ‘sapu jagat’ itu memang dapat merevisi lebih dari satu UU sekaligus. Tapi, kerap kali memunculkan protes dan kritik terhadap metode maupun UU hasil bentukan dengan omnibus law. Sepertihalnya UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, maupun  UU No.4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, dan menyusul RUU Kesehatan.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember Prof Bayu Dwi Anggono, menilai pemerintah latah dalam menggunakan metode omnibus law. Padahal omnibus law yang digunakan untuk menerbitkan sejumlah UU tergolong bermasalah. Dia menerangkan, metode omnibus law seharusnya digunakan hanya untuk UU yang memiliki tema dan latarbelakang yang sama.

Tapi UU 11/2020 memuat 78 UU yang masing-masing memiliki latar belakang dan tema yang berbeda. Alih-alih mengevaluasi dan membenahi metode omnibus law yang digunakan, pemerintah malah berencana menerbitkan RUU Kesehatan yang isinya memuat UU yang saling berbeda tema dan latarbelakang. Misalnya, RUU Kesehatan tak hanya mengurusi terkait layanan bidang kesehatan tapi juga menyasar jaminan sosial dan kelembagaan BPJS baik BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan.

“Omnibus itu bukan berarti bebas (memasukan berbagai macam UU dalam satu UU,-red). Latah omnibus ini kalau tidak ditata dengan baik akan menimbulkan masalah ke depan,” ujarnya dalam seminar bertema “Mewujudkan Ketertiban Peraturan Perundang-undangan Dalam Rangka Pembangunan Hukum Berkelanjutan,” Kamis (16/03/2023) kemarin.

Baca juga:

Prof Bayu yang juga menjadi anggota Komisi Kajian Ketatanegaraan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) itu  menyayangkan pengaturan omnibus law dalam UU No.13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak diatur secara ketat dan rinci.

Pasal 64 ayat (1b) UU 13/2022 hanya menyebut omnibus merupakan metode penyusunan peraturan perundang-undangan dengan memuat materi baru, mengubah materi muatan yang memiliki keterkaitan dan/atau kebutuhan hukum yang diatur dalam berbagai peraturan yang jenis dan hierarkinya sama, dan/atau mencabut peraturan yang jenis dan hierarkinya sama dengan menggabungkannya dalam satu peraturan untuk mencapai tujuan tertentu.

Tags:

Berita Terkait