Prof. M. Amin Suma: Nikah Beda Agama Hanya Sebagai Pintu Darurat
Profil

Prof. M. Amin Suma: Nikah Beda Agama Hanya Sebagai Pintu Darurat

Bangkai yang haram saja bisa dimakan kok kalau dalam situasi darurat.

Oleh:
M-22/Ali/Amr
Bacaan 2 Menit

Misalnya kasus seperti apa pernikahan beda agama diperbolehkan?
Ya, kalau saya mengatakan boleh itu misalnya tidak ada pasangan nikahnya kalo tidak beda agama. Misalnya, dia cari muslim/muslimah ngga ketemu. Sulit kan, masa ngga boleh menikah dengan orang yang beda agama, padahal tidak ada di situ lawan jenisnya (yang seagama,-red). Dan ini pernah ketika di Australia, di Adelaide kalau ngga salah. Itu ada satu kawasan mayoritas muslim turunan Indonesia. Umumnya di sana cari perempuan itu sulit. Terutama perempuan muslimah itu. Maka dia yang mau menikah bagi yang mampu secara ekonomi ada yang banyak ke Indonesia, pulang. Setidaknya mencari perempuan yang sama agamanya, muslimah.

Tapi, nggak semua berkemampuan seperti itu. Misalnya, kasus seperti itu kok kita paksakan dengan muslimah padahal tidak ada muslimahnya. Itu misalnya kasus yang real ya. Tinggal sekarang kalau orang di Indonesia, kan tidak kekurangan stok kan. Masih banyak. Kenapa mesti cari yang lain. Artinya situasional kan. Ngga bisa digebyar riah ngga boleh. Dan tidak pula juga lalu boleh, kapan saja siapa saja tidak. Kasuistis.

Jadi, tidak ada lagi perdebatan apakah laki-lakinya harus muslim dan perempuannya non muslimah?
Nggak ada lagi perdebatan itu, intinya dilihat lagi kasusnya. Karena dia butuh dan tidak ada barangnya kan gimana. Sudah lagi tidak mempersoalkan itu. Ya itu kasus nyatanya.

Jadi, bila kasusnya seperti itu, menurut Anda boleh?
Kalau dia dalam dirinya itu, misalnya ada niatan tetap dia menikahnya bukan karena dorongan birahi. Tapi ada motivasi dalam dirinya. Bagaimanapun dia memiliki kemauan dalam dirinya untuk membawa ke dalam satu iman. Kan perbuatan hati tidak ada yang tahu. Bergantung niatnya. Niat itu urusan hati. Ngga ada yang tahu. Ngga boleh kita mengatakan, menuduh si A ini perkawinannya semata-mata karena ini dikatakan haram. Ngga bisa, karena ini perbuatan hati.

Jadi, keberadaan peraturan perkawinan, terutama KHI yang melarang perkawinan beda agama itu ya tidak pandang bulu. Ya itu memang kebijakan, kesepakatan ulama khususnya dan pakar hukum umumnya. Itu pilihan hukum yang sudah ditetapkan. Tapi dimana-mana yang namanya pengecualian tetap ada. Mustahil tidak ada itu.

Menurut Anda, apakah perlu dilakukan revisi?
Ya, tentunya dipandang perlu. Setidak-tidaknya kan memang masyarakat ada desakan seperti itu. Dimana-mana yang namanya hukum kan selalu ada pengecualian. Ngga ada hukum yang mati yang kaku, kecuali kasus tertentu.

Saat ini Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan sedang diuji di Mahkamah Konsitusi (MK), bagaimana pendapat Anda?
Kalau itu kewenangannya MK. Hakim saya kira punya hak untuk menafsirkan. Ini murni pemikiran saya, pendapat saya yang tadi itu lah. Artinya, ketetapan Pasal 2 ayat (1) itu jelas masih berlaku sampai sekarang ini. Tidak bisa tekstual. Karena yang dimaksud dengan hukum agamanya masing-masing itu kalau saya menafsirkannya bagi umat Islam itu sesuai dengan fiqh Munakhahat. Kan tidak ada hukum positifnya, adanya fiqh munakhahat. Menurut fiqh munaqahat, umumnya ulama fiqh mengatakan sah perkawinan itu yang beda agama. Kalau, saya pada kasus tertentu sah itu perkawinannya, legal maksudnya. Cuma tetap haram.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait