Prof Tri Lisiani, Sang ‘Pendobrak’ Bias Gender dalam Hukum Perkawinan
Perempuan dan Pendidikan Hukum

Prof Tri Lisiani, Sang ‘Pendobrak’ Bias Gender dalam Hukum Perkawinan

Pemahaman kesetaraan gender merupakan keharusan agar tercapai tujuan yang sudah ditetapkan yaitu memberikan perlindungan kepada kaum perempuan, khususnya dalam hukum perkawinan di Indonesia.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

Meski poligami diperbolehkan dengan beberapa alasan dan syarat ketat, tetap saja terjadi praktik poligami ilegal karena beberapa faktor antara lain desakan istri kedua yang telah hamil; istri pertama tidak memberi izin; suami memalsu biodata dengan mengaku masih bujangan; dan kebutuhan biologis tidak terpenuhi. Fakta keseharian menunjukkan ada perempuan yang mau dipoligami, tetapi hal ini tidak bisa sekaligus menunjukkan bahwa mereka menyukai jalan hidup demikian.

 

Misalnya, ada empat perempuan yang bersedia dipoligami oleh Pemilik Ayam Goreng Wong Solo. Sementara sikap berbeda dilakukan penyanyi Dewi Yul yang tidak bersedia dipoligami dan memilih bercerai dari suaminya Rae Sahetapi. Realitas kehidupan perempuan yang dipoligami cenderung lebih banyak mengalami kekerasan daripada kebahagiaan. Temuan yang dilakukan Rifka Annisa,  tahun 2003 menunjukkan terjadi 210 kasus kekerasan (fisik, ekonomi, seksual maupun emosi) terhadap isteri dan kebanyakan korbannya berstatus dimadu resmi atau tidak resmi karena pasangannya memiliki wanita idaman lain.

 

Pernikahan siri

Selain poligami, hal sensitif lain dalam relasi gender adalah pernikahan siri. Dalam pidatonya, Prof Tri Lisiani mengutip M. Idris Ramulyo dalam bukunya berjudul Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat menurut Hukum Islam (Sinar Grafika: Jakarta, 2000) mendefinisikan pernikahan siri yaitu ”Perkawinan yang dilakukan di bawah tangan maksudnya adalah perkawinan itu tetap sah karena dipenuhi rukun-rukun maupun syarat-syarat yang telah ditentukan menurut hukum Islam, hanya pelaksanaannya tidak dilakukan melalui pendaftaran atau pencatatan di KUA yang mewilayahi tempat tinggal mereka.”

 

”Bagi kalangan feminis liberal, nikah siri sebagai hak individu dan menjadi pilihannya memiliki hubungan dengan siapapun tanpa dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA),” ujar Prof Tri dalam orasi ilmiahnya ini.

 

Dalam hukum positif, kata dia, perempuan masih memiliki kebebasan sebagai orang yang belum menikah. Hal ini disebabkan peraturan dengan nilai sekuler yang berasal dari zaman Penjajah Belanda yakni Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang menyatakan “Undang-Undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.“ Kelemahan pernikahan siri yang tidak dicatatkan di KUA ini tak ada perlindungan hukum terhadap perempuan jika terjadi perceraian.   

 

Pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 46/PUU-VIII/2010 tentang pengujian Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, terhadap laki-laki yang tidak melaksanakan kewajiban memberi nafkah kepada anak biologisnya, sang ibu dan anak dapat menuntut hak-haknya dari ayah biologisnya. Syaratnya, harus ada bukti bahwa anak tersebut anak dari ayah biologisnya. Tapi, Putusan MK itu tetap tidak memberi perlindungan terhadap perempuan dalam pernikahan siri.

 

“Mengingat lemahnya perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak dari perkawinan siri, sebaiknya nikah siri sebisa mungkin dihindari,” saran Mantan Pengurus Asosiasi Pengajar dan Peminat Hukum Berperspektif Gender se-Indonesia bidang Hubungan Internasional itu. Baca Juga: Putusan MK Semata Lindungi Anak Luar Kawin

Tags:

Berita Terkait