Prof Tri Lisiani, Sang ‘Pendobrak’ Bias Gender dalam Hukum Perkawinan
Perempuan dan Pendidikan Hukum

Prof Tri Lisiani, Sang ‘Pendobrak’ Bias Gender dalam Hukum Perkawinan

Pemahaman kesetaraan gender merupakan keharusan agar tercapai tujuan yang sudah ditetapkan yaitu memberikan perlindungan kepada kaum perempuan, khususnya dalam hukum perkawinan di Indonesia.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

Kita pernah dikejutkan pernyataan Wakil Presiden saat itu, Yusuf Kalla, yang menyetujui dan mendorong praktik kawin kontrak dengan alasan dapat memperbaiki ekonomi perempuan dan juga keuntungan memperoleh keturunan yang secara fisik good looking. Apa yang dikatakannya memancing kemarahan 70 organisasi perempuan karena dinilai merendahkan perempuan.

 

Menurutnya, hukum positif tidak mengatur kawin kontrak, Rancangan Undang-Undang ke depan akan melarangnya. Hal ini karena kawin kontrak bertentangan dengan Pasal 1 UU Pekawinan. Pasal 1 ini menyebutkan “Perkawinan .... dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal ...”. Sifat kekekalan ini jelas tidak sesuai dengan sifat kawin kontrak yang membatasi usia perkawinan.

 

“Feminis religius tidak merekomendasi, bahkan melarangnya. Kawin kontrak ini bertentangan dengan nilai-nilai (agama) yang mereka yakini. Membiarkan terjadinya kawin kontrak berarti dengan sengaja merencanakan terjadi perceraian.”

 

Sebelum menutup orasinya, Prof Tri Lisiani menarik beberapa kesimpulan. Pertama, keharusan perbaikan kesetaraan relasi gender antara suami dengan istri dalam hukum perkawinan di Indonesia. Kedua, UU Perkawinan memiliki kelebihan dan kelemahan dalam mengatur relasi kesetaraan gender, misalnya kepentingan janda cerai dan pemeliharaan anak tidak terjangkau oleh hukum.

 

Ketiga, poligami ilegal ternyata tidak memberi perlindungan yang cukup kepada perempuan. Meski ada putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 yang mulai terjadi pergeseran relasi gender dimana anak biologis mendapat perlindungan hukum, tapi praktiknya masih mengalami kesulitan dengan berbagai syarat dan prosedur yang panjang. Baca Juga: DPR Kukuhkan Batas Usia Perkawinan Minimum 19 Tahun

 

Keempat, relasi gender dalam praktik perkawinan kontrak dan siri tidak memberi kesetaraan antara laki-laki dengan perempuan. Selain tak diatur hukum positif, pihak perempuan seringkali menjadi pihak yang dirugikan. “Justru relasi kesetaraan gender tercermin dalam beberapa yurisprudensi karena hakim berani keluar dari asas legalitas dan memutus berdasarkan nilai keadilan (berbasis kesetaraan gender, red),” tutupnya.

 

Sebagai informasi, selain putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010, belum lama ini, pembentuk UU telah mengesahkan revisi UU Perkawinan secara terbatas melalui UU No.16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 1974 terkait perubahan batas minimal usia pernikahan. Keputusan mengubah batas usia perkawinan laki-laki dan perempuan menjadi 19 tahun ini sebagai tindak lanjut putusan MK No. 22/PUU-XV/2017 tertanggal 13 Desember 2018.

 

Seperti tertuang dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan menyebutkan, “Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun.” Namun, Pasal 7 ayat (2)-nya menyebutkan, “Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.” Kebijakan itu pun dianggap salah satu bentuk pergeseran relasi gender yang mengarah pada kesetaraan gender dalam hukum perkawinan.        

Tags:

Berita Terkait