Profesi Penilai Butuh Payung Hukum Segera
Utama

Profesi Penilai Butuh Payung Hukum Segera

Dua tahun lagi belum disahkan, kesulitan mengawasi profesi penilai sudah menghadang.

Oleh:
CR-9
Bacaan 2 Menit
Foto: www.mappi.or.id
Foto: www.mappi.or.id

Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) meminta agar Pemerintah dan DPR segera melahirkan Undang-Undang Jasa Penilai. (RUU PJ). Undang-Undang itu penting sebagai payung hukum bagi profesi penilai di Tanah Air. “Paling tidak, tahun depan RUU JP masuk program legislasi nasional,” terang Ketua MAPPI, Hamid Yusuf di Jakarta, Senin (09/8).

 

Disampaikan Hamid, profesi jasa penilai membutuhkan UU, agar ada standarisasi dan penyatuan kelompok profesi penilai sehingga memudahkan tugas penilaian.

 

Hamid menyatakan profesi penilai tidak mungkin berjalan dengan baik tanpa payung hukum. Dan ia berpendapat payung hukum itu berbentuk Undang-Undang. “Belajar dari beberapa negara, profesi penilai itu satu organisasi. Baik dari pemerintah maupun swasta. Sedangkan di Indonesia masih terpisah-pisah,” ujarnya.

 

Urgensi lain, menurut Hamid, RUU JP seyogianya dibahas dan disahkan bersamaan dengan RUU Penilaian. Pasalnya, saat ini untuk menilai objek tertentu bukan hanya satu  instansi Pemerintah. Ada beberapa lembaga yang melakukan appraisal untuk objek yang sama. “Contohnya masalah penilaian tanah. Pihak yang menilai ada Dinas Pekerjaan Umum, Badan Pertanahan Nasional, dan lainnya. Hasilnya berbeda-beda,” jelasnya lagi.

 

Karena itu, Hamid menegaskan pentingnya pengesahan segera RUU Penilaian. UU itu nantinya harus memuat klausul pembentukan Dewan Standar Penilai. Dewan ini merupakan gabungan profesi penilai pemerintah dan swasta. Kewenangan Dewan ini kelak adalah membuat kriteria penilaian dan sertifikasi penilai. Hasil sertifikasi penilai ini direkomendasi kepada Menteri Keuangan untuk disahkan. Untuk itu, MAPPI meminta RUU mengatur persyaratan minimum seorang dapat menjadi penilai secara.

 

Masalah akses penilai kepada pemilik aset juga menjadi sorotan MAPPI. Saat ini, tidak ada aturan hukum yang dapat membuat penilai memaksakan tindakan penilaian.  Jika pemilik aset menolak diperiksa atau memberi data, maka proses penilaian tidak jadi dilaksanakan. “Ternyata banyak yang asetnya tidak ada apa-apa alias bodong. Itu yang menyebabkan kerugian bank selama ini,” jelasnya.

 

Jadi, MAPPI berharap RUU Penilaian nantinya bisa mengatur sanksi bagi pemilik aset yang menolak diperiksa.

Tags: