Program Vaksinasi, Kewajiban atau Sukarela?
Profil

Program Vaksinasi, Kewajiban atau Sukarela?

Penerapan sanksi bagi masyarakat yang menolak vaksinasi tidak dapat langsung diterapkan. Perlu pemeriksaan lebih lanjut mengenai klausul-kalausul atau kondisi lebih lanjut terhadap masyarakat yang menolak vaksinasi.

Oleh:
Mochammad Januar Rizki
Bacaan 5 Menit

“Tidak bisa langsung pidana. Kalau UU Wabah itu lex genaralis-nya, kalau lex spesialis-nya ada di Permenkes dan juknisnya (SK Dirjen). Kalau masyarakat awam kalau dia menolak dalam konteks apa. Saya harap ada evaluasi dari kebijakan yang sudah ada,” jelas Rima.

Dalam artikel Hukumonline berjudul Polemik Jerat Pidana bagi Penolak Vaksinasi Covid-19, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Prof Edward Oemar Sharif Hiariej menganggap ada sanksi bagi warga yang menolak vaksinasi Covid-19. Sebab, vaksinasi Covid-19 merupakan kewajiban di tengah situasi wabah penyakit menular, seperti pandemi Covid-19. Sanksi yang dimaksud merujuk pada Pasal 9 jo Pasal 93 UU No.6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. (Baca: Sosialisasi Masif dan Pentingnya Vaksinasi Covid-19)

Pasal 9 ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan menyebutkan, “Setiap Orang wajib mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan”. Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan menyebutkan, “Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan, sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.

Dia menilai Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan merupakan pasal “sapujagat” yang bersifat karet dan pasal keranjang sampah. Menurutnya, Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan dapat dikatakan sebagai pidana administratif. Bagi siapapun yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sesuai Pasal 9 ayat (1) dapat dijerat dengan Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan.

Menurutnya, Pasal 9 ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan berkaitan dengan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Karena itu, terdapat kewajiban bagi setiap warga negara untuk mematuhi berbagai peraturan perundang-undangan terkait kekarantinaan kesehatan. “Ketika kita menyatakan vaksin itu kewajiban, secara mutatis mutandis jika ada warga yang tidak mau divaksin bisa dikenakan sanksi pidana, bisa didenda atau penjara, atau bisa dua-duanya. Jadi bahasa (penafsirannya, red) amat sangat luas, itu kita istilahkan pasal karet,” ujarnya dalam sebuah webinar, Sabtu (9/1/2021) kemarin.

Meski rumusan norma tersebut sedemikian mudah menjerat pelanggaran kekarantinaan kesehatan, namun hukum pidana itu bersifat ultimum remedium (upaya terakhir). Artinya hukum pidana digunakan sebagai sarana penegakan hukum yang terakhir (setelah upaya lain sudah dilakukan). “Jelas ada sanksi. Tapi sedapat mungkin pidana itu jalan (upaya, red) terakhir,” katanya.

Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai tafsir Wamenkumham sangat berlebihan. Dia beralasan penerapan sanksi pidana dalam UU 6/2018 bila memenuhi dalam kondisi. Pertama, bila pilihan keputusan pemerintah menyatakan karantina wilayah, bukan PSBB. Kedua, tindakan yang dapat dikriminalisasi atau dipidana antara lain keluar masuknya wilayah karantina tanpa izin. Ketiga, subjeknya adalah para supir, nahkoda dan pilot.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait