Prosedur PHK: dari Permit Request Principle ke Notification Principle
Kolom

Prosedur PHK: dari Permit Request Principle ke Notification Principle

Hakim yang memeriksa dan memutus perkara terkait prinsip PHK ini dapat dipahami dengan dasar pemikiran bahwa hakim bukanlah corong Undang-Undang.

Putusan Nomor 293/Pdt.Sus-PHI/2021/PN.Bdg tanggal 28 Maret 2022 diperbaiki oleh Mahkamah Agung RI dengan Putusan Nomor 1042 K/Pdt.Sus-PHI/2022 tanggal 25 Juli 2022 dengan pertimbangan pada pokoknya terkait prosedur PHK adalah oleh karena PHK dilakukan oleh perusahaan melalui surat PHK tanpa adanya penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial maka bertentangan dengan ketentuan Pasal 151 Ayat (3) jo. Pasal 155 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan sehingga batal demi hukum. Mahkamah Agung kemudian menyatakan bahwa PHK sejak tanggal 28 Maret 2022, perusahaan mengalami kerugian dan oleh karena pandemi covid-19 dan perusahaan telah tutup operasional sejak 27 April 2020 maka sesuai Pasal 44 Ayat (1) PP Nomor 35 Tahun 2021 ditetapkan PHK sejak 28 Maret 2022 dengan alasan perusahaan tutup karena mengalami kerugian. Perbaikan dari Mahkamah Agung ini menarik karena di satu sisi mempertimbangkan prosedur PHK bertentangan dengan ketentuan Pasal 151 Ayat (3) jo. Pasal 155 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan karena PHK tanpa penetapan (padahal prinsip penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial telah diubah dengan UUCK dan Pasal 155 UU Ketenagakerjaan sudah dihapus oleh UUCK. Di sisi yang lain Mahkamah Agung menetapkan uang pesangon berdasarkan Pasal 44 Ayat (1) PP Nomor 35 Tahun 2021.

Kesimpulan 

Perppu CK juncto peraturan perlaksana UUCK yang masih berlaku dan pengaturan tentang prosedur pemutusan hubungan kerja yang dalam UU Ketenagakerjaan harus mendapat penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial atau “permit request principle” menjadi cukup dengan pemberitahuan secara tertulis atau “notification principle” yang dalam praktik sudah dilakukan. Putusan PHI terkait prosedur PHK ternyata beragam sikap dan pertimbangan.

Hakim yang memeriksa dan memutus perkara terkait prinsip PHK ini dapat dipahami dengan dasar pemikiran bahwa hakim bukanlah corong Undang-Undang sebagaimana yang dikatakan oleh Montesquieu: “les juges de la nation ne sont qu la bounche quipiononce les paroles de laloi; des etres inanimes qui nen peuvent modere ni la force ni la riquieur”.

*) Dr. Sugeng Santoso PN, S.H., M.M., M.H. adalah Hakim PHI Pada Mahkamah Agung RI & Peskano Marolop Malau, S.H. adalah Analis Perkara Peradilan Pada Kepaniteraan Mahkamah Agung RI.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait