Proses Legislasi Ugal-Ugalan, UU Cipta Kerja Dipersoalkan ke MK
Utama

Proses Legislasi Ugal-Ugalan, UU Cipta Kerja Dipersoalkan ke MK

Para pemohon mengajukan uji formil. MK diminta menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD Tahun 1945.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit

Kemudian Sekjen DPR RI Indra Iskandar pada selasa, 13 Oktober 2020 kembali meralat, draf yang beredar dengan jumlah 812 halaman merupakan hasil perbaikan terkini (final) yang dilakukan DPR. Artinya pasca disetujui bersama oleh DPR dan Presiden pada 5 Oktober 2020 dengan menggunakan draf RUU Cipta Kerja dengan jumlah 905 halaman, telah terjadi dua kali perubahan draf.

Meskipun perubahan pasca disetujui hanyalah perubahan teknis penulisan, dan ukuran kertas dari ukuran A4 ke ukuran Legal. “Perubahan draf itu secara nyata bukan terkait teknis penulisan, namun terkait substansi. Hal ini sudah melanggar norma Pasal 72 ayat (2) UU P3 beserta penjelasannya. Ini preseden buruk dalam proses legislasi dimana pembentuk UU membohongi rakyat dan terkesan seperti sedang bermain ‘akal-akalan’,” tudingnya.

Menurutnya, adanya perubahan substansi terhadap RUU setelah persetujuan bersama DPR dan Presiden melanggar tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan. Sebab, bila ada perubahan substansi atas RUU, seharusnya dibahas bersama. Lalu, perubahan itu disetujui lagi bersama DPR dan Presiden. Waktu 7 hari itu untuk mempersiapkan segala hal yang berkaitan ‘teknis penulisan RUU’, bukan berkaitan substansi.

“Pembentuk UU melakukan pelanggaran Pasal 22A UUD 1945 dalam pembentukan UU Cipta Kerja ini,” sebutnya.

Apabila UU Cipta Kerja ini dinyatakan tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945, MK tidak perlu khawatir karena tidak akan menimbulkan kekosongan hukum. MK dalam pertimbangan hukumnya bisa menyatakan pasal-pasal yang telah diubah dalam UU Cipta Kerja berlaku kembali jika MK mengabulkan uji formil ini  

“Dari seluruh uraian itu, menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD Tahun 1945.”

Dia melanjutkan jika tolok ukur pengujian formil harus selalu berdasarkan pasal-pasal UUD 1945 saja, hampir dapat dipastikan tidak akan pernah ada pengujian formil karena UUD 1945 hanya memuat hal-hal prinsip dan tidak mengatur secara jelas aspek formil, proseduralnya. Padahal dari logika tertib tata hukum sesuai konstitusi, pengujian formil itu harus dapat dilakukan.

“Sepanjang UU, tata tertib produk lembaga negara, dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mekanisme atau formil atau prosedural itu dari delegasi kewenangan menurut konstitusi, peraturan perundang-undangan itu dapat dipertimbangkan sebagai tolok ukur atau batu uji dalam pengujian formil.”

MK sebagai The Guardian of Constitution tentu harus mengambil keputusan yang berani dan tegas demi tegaknya konstitusi atas pembentukan UU Cipta Kerja ini yang secara terang benderang cacat prosedural di depan seluruh mata rakyat Indonesia sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Proses pengujian ini sangat penting mengingat sedang gencar-gencarnya hastag #MosiTidakPercaya yang disematkan kepada lembaga pembentuk UU yakni Presiden dan DPR.

“Tinggal bagaimana hakim MK menilainya dan akankah hakim MK memandang hal itu bukan bentuk pelanggaran? Ini saatnya MK membuktikan tetap pantas diberi kepercayaan oleh seluruh rakyat Indonesia untuk menjadi The Guardian of Constitution,” harapnya.

Tags:

Berita Terkait