Proses pemberhentian tidak dengan hormat Irjen Ferdy Sambo sebagai anggota Polri atas kasus pembunuhan berencana Brigadir Yosua Hutabarat memasuki proses pemeriksaan di sidang komisi etik Polri. Ferdy Sambo ditetapkan sebagai tersangka dugaan pembunuhan berencana yang merupakan pelanggaran terhadap kode etik profesi Polri sehingga diancam dengan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat.
Polri sebagai institusi penegak hukum dituntut untuk profesional dalam melaksanakan tugasnya, di samping itu mereka juga harus memiliki komitmen dan disiplin yang kuat agar terhindar dari perilaku tercela yang dapat menjatuhkan wibawa dan martabat institusi Polri.
Sayangnya, pada praktiknya masih sering ditemukan fenomena di dalam institusi Kepolisian yang anggotanya terlibat dalam perbuatan tercela dan melanggar ketentuan hukum yang berlaku.
Baca Juga:
- Asal Usul Hakim Dipanggil ‘Yang Mulia’
- Profesi Mediator untuk Penyelesaian Luar Sengketa
- Status Uang Muka Jika Jual Beli Batal
Atas perbuatan tercela tersebut, penegakkan disiplin anggota Polri dengan sistem pemberian sanksi diatur dalam UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, PP No. 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri, dan Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Polri dan Perkap Nomor 19 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Kode Etik Polri.
Namun belakangan, pasca kasus Brotoseno, dua Perkap itu diubah menjadi Peraturan Kepolisian (Perpol) No.7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia yang memberi kewenangan Kapolri meninjau ulang putusan Komisi Kode Etik Polri (KKEP), sekaligus mencabut Perkap 14/2011 dan Perkap 19/2012 itu.
Secara umum, pemberhentian status seseorang dari anggota Kepolisian diatur dalam Pasal 30 UU No. 2 Tahun 2002 yang berbunyi: