Proses Yudisial dan Pemulihan yang Berkeadilan Bagi Korban
Kolom

Proses Yudisial dan Pemulihan yang Berkeadilan Bagi Korban

Upaya untuk menghadirkan effective remedies diupayakan secara maksimal, bukan hanya pemberian bantuan sosial.

Bacaan 5 Menit

Kedua, Jaksa Agung sebagai pemegang kewenangan penyidikan dan penuntutan dalam setiap kejahatan pelanggaran HAM berat. Pasal 21 ayat (1) UU Pengadilan HAM menyebutkan bahwa penyidikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung. Artinya, tidak ada alasan bagi Jaksa Agung untuk tidak menaikan status 12 peristiwa yang telah diakui oleh negara lewat Presiden ke tahap berikutnya yakni penyidikan hingga penuntutan di Pengadilan HAM.

Selama ini, mangkraknya penuntasan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu salah satunya disebabkan oleh saling lempar tanggung jawab antara Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Kejaksaan Agung terkait proses peradilan. Jaksa Agung selalu berdalih bahwa hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM belum cukup bukti. Sementara itu, Komnas HAM juga selalu beralasan bahwa bukti sudah memadai dan terhambatnya proses penyelesaian juga karena kewenangan yang terbatas.

Pengakuan yang dilakukan oleh negara terhadap peristiwa pelanggaran HAM berat harus dianggap sebagai perintah bagi berbagai lembaga untuk menjalankan tugasnya lebih ekstra berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Utamanya untuk proses yudisial, rehabilitasi para korban dalam kerangka non-yudisial tidak boleh menjadi negasi terhadap kewajiban utama. Sebab, menurut hukum yang berlaku secara universal, kewajiban negara dalam peristiwa pelanggaran HAM meliputi duty to remember, duty to prosecute, duty to redress serta menjamin tidak berulangnya peristiwa (non-recurrence).

Seluruh aspek itu juga harus dibarengi dengan perbaikan sistem hukum dan pemerintahan dari pengaruh siapapun yang pernah diduga terlibat dalam pelanggaran HAM berat. Presiden Joko Widodo bisa memulai dengan membersihkan kabinet dan lingkaran istana dari kepungan pengaruh aktor yang diduga terlibat dalam rangkaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Hal ini penting dilakukan guna mencegah konflik kepentingan dalam penyelesaian utuh dan komprehensif.

Aspek Pemulihan

Pernyataan Presiden Jokowi memang harus diakui sebagai angin segar, utamanya bagi sebagian kelompok korban yang telah lelah menanti jalan penyelesaian terhadap kasus mereka. Banyak korban hingga akhir perjuangannya harus menerima kenyataan pahit tidak mendapatkan bentuk pemulihan apapun dari negara. Ditambah, keluarga korban pun banyak yang berada dalam situasi kemiskinan sehingga begitu membutuhkan bantuan.

Langkah negara yang mengiming-imingi ganti rugi berupa materiil tentu saja sangat menggiurkan. Di sisi lain, pro-kontra juga terus terjadi. Kejahatan yang sifatnya sistematik dan meluas tidak dapat disimplifikasi. Proses penyelesaiannya, termasuk pada aspek pemulihan harus bersesuaian dengan prinsip yang telah digariskan dunia internasional.

Berangkat dari rekomendasi tim PPHAM, disebutkan bahwa Presiden sebagai Kepala Negara harus mengambil beberapa tindakan antara lain: menyusun ulang sejarah, memulihkan hak-hak para korban atas peristiwa pelanggaran HAM yang berat, melakukan pendataan kembali korban, memulihkan hak korban dalam dua kategori, yakni hak konstitusional sebagai korban dan hak-hak sebagai warga negara. Berbagai rekomendasi ini terlihat sangat baik.

Tags:

Berita Terkait