Kalangan masyarakat sipil kembali menyuarakan protes keras terhadap pemerintah dan DPR terkait berbagai kebijakan, UU, dan peraturan yang dinilai tidak sejalan konstitusi. Salah satunya yang terus menjadi sorotan terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang dinilai tidak sesuai konstitusi.
Ketua Umum YLBHI Muhammad Isnur melihat pemerintah dan DPR mengelola negara seolah tanpa mengacu pada hukum tata negara. Pendekatan yang digunakan yakni otoritarian dengan melindungi kekuasaan melalui berbagai cara termasuk melalui instrumen hukum.
Isnur menyebut salah satu contohnya Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang diterbitkan dengan dalih kegentingan memaksa yang dibuat-buat. Misalnya, ancaman resesi dan perang global. Padahal, data Kementerian Keuangan dan berbagai lembaga menunjukkan sebaliknya dimana perrekonomian Indonesia cukup baik dan tumbuh positif.
Baca juga:
- Poin Penting yang Menjadi Sorotan dalam Perppu Cipta Kerja
- Menaker: Perppu Cipta Kerja Sempurnakan 5 Substansi Ketenagakerjaan
Di sisi lain, dalam putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020, MK memberikan waktu 2 tahun untuk memperbaiki UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sayangnya yang dipilih malah menerbitkan Perppu yang isinya sebagian besar sama seperti UU No.11 Tahun 2020. Berbeda dengan revisi UU KPK, UU Minerba, UU MK yang dikebut pembahasannya dalam waktu singkat.
Namun, giliran beleid yang menyangkut kepentingan rakyat, seperti RUU Masyarakat Hukum Adat mandek. “Jadi hukum dibuat hanya untuk kepentingan kekuasaan,” kata Muhammad Isnur dalam konferensi pers dan Pembacaan Maklumat Protes Rakyat Indonesia, Kamis (9/2/2023).
Ia melihat kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, tapi kepentingan oligarki dan kekuasaan tak hanya terbit di periode kedua masa kepemimpinan Presiden Jokowi. Periode pertama kepemimpinan Jokowi juga pernah menerbitkan kebijakan serupa antara lain 16 paket kebijakan ekonomi yang ditujukan untuk investasi. Bahkan, dalam pernyataannya Presiden Jokowi akan menghajar pihak yang menghambat investasi.