Proyeksi Legislasi: Keadilan Restoratif dalam Pembaruan Hukum Pidana Indonesia
Kolom

Proyeksi Legislasi: Keadilan Restoratif dalam Pembaruan Hukum Pidana Indonesia

Pengaturan terkait mekanisme keadilan restoratif dalam Hukum Acara Pidana ke depan, menjadi sebuah keharusan.

Bacaan 4 Menit
  1. Sebagai salah satu jenis pidana pokok, pidana kerja sosial dapat dijatuhkan kepada terdakwa yang melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara kurang dari 5 (lima) tahun dan hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II (Pasal 85 Ayat (1));
  2. Pidana tambahan berupa pembayaran ganti rugi dan/atau pemenuhan kewajiban adat setempat dapat dikenakan dalam hal penjatuhan pidana pokok saja tidak cukup untuk mencapai tujuan pemidanaan (Pasal 66);
  3. Pidana penjara sedapat mungkin tidak dijatuhkan jika ditemukan keadaan misalnya terdakwa adalah Anak, dan terdakwa telah membayar ganti rugi kepada Korban (Pasal 70); dan
  4. Penjatuhan hukuman berupa tindakan yang dapat dikenakan bersama-sama dengan pidana pokok berupa:
  • konseling;
  • rehabilitasi bagi terdakwa yang kecanduan alkohol, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau menyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual;
  • pelatihan kerja;
  • perawatan di lembaga; dan/atau
  • perbaikan akibat Tindak Pidana. (Pasal 103 Ayat 1)

Rancangan Undang-undang Hukum Pidana juga mengatur Diversi, Tindakan, dan Pidana bagi Anak yang pada intinya menegaskan kembali keharusan penerapan pendekatan keadilan restoratif pada SPPA oleh para aparat penegak hukum. Berdasarkan uraian singkat di atas, dapat terlihat adanya pergeseran paradigma yang coba didorong oleh RUHP, dari pemidanaan yang retributif semata menjadi pemidanaan yang juga berorientasi pada pemulihan.

Keadilan Restoratif dalam RUHAP

Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya, bahwa masing-masing lembaga penegak hukum mulai berinisiatif mengembangkan kebijakan internal terkait keadilan restoratif di luar perkara anak atau ditujukan kepada perkara orang dewasa. Namun, upaya tersebut dijalankan sektoral dengan pemahaman dan penafsiran terhadap keadilan restoratif yang berbeda-beda. Hal ini berpotensi memunculkan ketidakpastian hukum bagi perkara tindak pidana yang diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif.

Belum adanya payung hukum keadilan restoratif setingkat undang-undang (di luar perkara Anak yang sudah diatur dalam UU SPPA), menjadi faktor kunci yang menyebabkan ketidakselarasan penerapan keadilan restoratif oleh setiap institusi. Untuk itu, diperlukan ketentuan yang mengatur pelaksanaan keadilan restoratif dalam kerangka sistem peradilan pidana, dalam hal ini menjadi bagian dari UU Hukum Acara Pidana. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana mendorong penerapan keadilan restoratif pada pembaruan hukum acara pidana?

Sebagaimana diketahui bersama bahwa Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUHAP) masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) long list 2020-2024 sebagai usulan inisiatif dari DPR. Sebelumnya RUHAP merupakan inisiatif dari pemerintah yang sudah menyiapkan draft pada tahun 2012. Berdasarkan analisis terhadap draft RUHAP tahun 2012 tersebut, belum terlihat pengaturan terkait pendekatan keadilan restoratif yang memadai di dalamnya. Meskipun draft ini muncul di tahun yang sama dengan disahkannya UU tentang SPPA yang memiliki paradigma keadilan restoratif.

Draft RUHAP yang disusun oleh DPR tentunya harus memuat ketentuan terkait mekanisme pelaksanaan keadilan restoratif. Penerapan keadilan restoratif berdasarkan UU SPPA merupakan pembelajaran penting dalam mempersiapkan draft RUHAP ke depan. Kajian akademis seperti yang telah dilakukan oleh ‘konsorsium restorative justice’ menjadi bahan penting dalam menyempurnakan dan memperkuat Naskah Akademis RUHAP yang telah disusun sebelumnya oleh BPHN. Pengaturan terkait mekanisme keadilan restoratif dalam Hukum Acara Pidana ke depan, menjadi sebuah keharusan.

Tags:

Berita Terkait