PSHK Desak Pemerintah Buka Draf RKUHP Terbaru!
Utama

PSHK Desak Pemerintah Buka Draf RKUHP Terbaru!

PSHK juga meminta DPR dan pemerintah melakukan pembicaraan tingkat I terhadap keseluruhan draf, khususnya ketentuan-ketentuan baru dalam RKUHP yang sudah diajukan oleh pemerintah dengan melibatkan masyarakat secara bermakna.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Dalam Rapat Dengar Pendapat pada 25 Mei 2022 lalu, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) yang mewakili Pemerintah menyampaikan 14 isu krusial dalam RKUHP pada Komisi III DPR pasca pelaksanaan sosialisasi yang dilakukan Pemerintah dalam 2 tahun terakhir. Komisi III DPR RI menyatakan menyetujui 14 isu krusial tersebut dan akan mengirimkan surat kepada Presiden. Langkah selanjutnya berarti adalah persetujuan untuk membahas Pembicaraan Tingkat II serta pengesahan saat Rapat Paripurna.

“Sama sekali tidak ada pembenaran untuk langkah Komisi III DPR tersebut,” ujar Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Fajri Nursyamsi saat dikonfirmasi, Sabtu (18/6/2022).   

Menurutnya, apabila Pemerintah menyampaikan draf yang mengandung perubahan, seharusnya draf tersebut dianggap berbeda oleh DPR dengan draf sebelumnya. Baru draf tersebut dibahas kembali sesuai dengan prosedur legislasi, khususnya mengacu pada ketentuan yang membahas perihal RUU operan (carry over) atau RUU yang pembahasannya berlanjut setelah tidak selesai pada periode DPR sebelumnya.

Ia menjelaskan ketentuan RUU operan ini tercantum dalam Pasal 71A UU No.15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 15/2019). Pasal 71A tersebut dijabarkan lebih teknis dalam Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pembentukan Undang-Undang (Peraturan DPR 2/2020). Dalam Pasal 110 ayat (3) Peraturan DPR 2/2020 mengatur bahwa DPR lanjut membahas RUU operan dalam Pembicaraan Tingkat I dengan menggunakan Surat Presiden dan Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang sudah ada pada DPR periode keanggotaan sebelumnya.

Baca Juga:

Lalu, bagaimana dengan RKUHP? Status RKUHP pada pembahasan di DPR periode 2014-2019 memang sudah di tahap akhir Pembicaraan Tingkat I. Namun, statusnya kini pemerintah mengajukan perubahan DIM kepada DPR. Perubahan DIM yang memuat 14 isu krusial tersebut sudah mendapat persetujuan DPR. Karena itu, Pembicaraan Tingkat I semakin wajib dilakukan oleh DPR sesuai dengan prosedur legislasi.

Setidaknya untuk membahas DIM perubahan dari pemerintah tersebut terkait 14 isu krusial yang disampaikan. Karena itu, adanya perubahan DIM ini, RKUHP tidak dapat langsung diteruskan oleh DPR untuk mendapatkan pengesahan di Pembicaraan Tingkat II. “Jadi, RKUHP dengan berstatus RUU Operan tidak berarti dapat langsung disahkan,” ujarnya mengingatkan.

Ia melanjutkan ketika pemerintah mengajukan DIM yang mengandung perubahan, maka seharunya tahapannya konsisten dengan prosedur Pembicaran Tingkat I yang diatur dalam Pasal 87 ayat (2) huruf a Peraturan DPR Nomor 2/2020. Secara prosedur yaitu melalui Rapat Komisi bersama dengan Menteri Hukum dan HAM yang mewakili Presiden. Melaksanakan Pembicaraan Tingkat I sesuai dengan prosedur seharusnya bukan hanya memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011). 

“Sesuai dengan prosedur, berarti memenuhi aspek keadilan prosedural bagi warga negara, sebagai pihak yang akan terdampak dari UU yang akan disahkan kelak,” tegasnya.

Selain itu, jaminan partisipasi masyarakat dalam proses legislasi juga dijamin dalam Pasal 96 ayat (4) UU 12/2011 bahwa bahwa setiap draf RUU harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Bahkan Kementerian Hukum dan HAM sendiri mengeluarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan Konsultasi Publik dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Permenkumham 11/2021).

Pasal 19 Permenkumham 11/2021 menyebutkan instansi pemrakarsa melaksanakan konsultasi publik, antara lain dengan menyebarluaskan hasil perkembangan pembahasan RUU di DPR dengan cara mengunggah ke dalam sistem informasi dan atau media elektronik lainnya yang mudah diakses masyarakat. Termasuk menyelenggarakan forum tatap muka atau dialog langsung dengan melibatkan masyarakat. 

Sekadar mengingatkan, pada Juni 2021 Tim Pemerintah juga sempat menolak membuka draf terbaru yang dihasilkan dari serangkaian proses pertemuan dengan alasan belum diserahkan kepada DPR. Namun sekarang, setelah disampaikan kepada DPR, pemerintah masih juga berkelit dan menolak membuka draf RKUHP tersebut.

Mengenai pentingnya keterlibatan publik ini, Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 turut mengingatkan tidak terpenuhinya aspek partisipasi bermakna ini mengakibatkan terbentuknya UU yang memiliki cacat formil. "Gairah memutus rantai dengan produk kolonial seharusnya tidak mengkhianati esensi pembentukan undang-undang yakni terpenuhinya rasa keadilan dan pemenuhan etika partisipasi keterwakilan publik," tegasnya. 

Untuk itu, PSHK mendesak agar pemerintah membuka draf RKUHP terbaru sesuai dengan ketentuan dan tata cara dalam Permenkumham 11/2021. Selanjutnya, DPR dan pemerintah melakukan pembicaraan tingkat I terhadap keseluruhan draf, khususnya ketentuan-ketentuan baru dalam RKUHP yang sudah diajukan oleh pemerintah.

Selain itu, DPR mesti mendengarkan, mempertimbangkan, dan memberikan respon atas aspirasi masyarakat, terutama kelompok rentan dan kelompok yang akan terdampak dengan ketentuan dalam RKUHP. “DPR dan pemerintah tidak berupaya menyimpangi prosedur legislasi dan menghindari pembahasan RKUHP secara terbuka dan partisipatif,” harapnya. 

Sebelumnya, pemerintah dan DPR membuat kesepakatan terkait nasib tindak lanjut pembahasan RKUHP. Kedua belah pihak menyepakati melanjutkan pembahasan RKUHP agar dapat diselesaikan dan disahkan pada masa sidang V di tahun 2022. Kesepakatan diambil setelah pemerintah melakukan sosialisasi ke-12 daerah dengan melibatkan akademisi, aparat penegak hukum, dan para ahli hukum pidana.

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan pemerintah sudah melakukan sosialisasi berupa diskusi publik, menyempurnakan, dan mereformulasi yang akhirnya menghasilkan penjelasan, khususnya penjelasan sejumlah 14 isu krusial dalam RKUHP. Dia mengklaim penjelasan terhadap pasal-pasal kontroversial itu berdasarkan masukan dari unsur masyarakat, akademisi, kementerian, dan institusi penegak hukum.

“Kami memberikan penjelasan terhadap 14 isu krusial,” ujar Prof Edward Omar Sharif Hiariej dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR di Komplek Gedung Parlemen, Rabu (25/5/2022) lalu.

Ke-14 isu krusial yang dimaksud seperti, living law atau hukum yang hidup di masyarakat; pidana mati sebagai pidana alternatif; penyerangan (penghinaan) harkat dan martabat presiden dan wakil presiden (delik aduan); tindak pidana dengan memiliki kekuatan ghaib; unggas dan ternak yang merusak kebun yang ditaburi benih; contempt of court.

Selain itu, penodaan agama; penganiayaan hewan; alat pencegahan kehamilan dan pengguguran kandungan untuk memberi perlindungan bagi anak; penggelandangan; aborsi; perzinahan; kohabitasi (tinggal serumah tanpa ikatan perkawinan) sebagai delik aduan; perkosaan sebagai delik aduan.   

Tags:

Berita Terkait