PTUN Jadi Lebih 'Bergigi' dengan Disetujuinya Revisi UU No.5/1986
Utama

PTUN Jadi Lebih 'Bergigi' dengan Disetujuinya Revisi UU No.5/1986

Revisi UU No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara banyak membawa perubahan penting terhadap hukum acara peradilan tata usaha negara. UU PTUN yang baru tidak hanya menambah pasal mengenai juru sita yang sebelumnya tidak ada, namun juga mengatur sanksi berganda bagi pejabat membangkang terhadap putusan pengadilan.

Oleh:
Amr
Bacaan 2 Menit
PTUN Jadi Lebih 'Bergigi' dengan Disetujuinya Revisi UU No.5/1986
Hukumonline

Sebetulnya, perubahan di bidang hukum acara yang paling mendasar dan cukup banyak dialami oleh PTUN. Sedangkan, untuk peradilan umum perubahan lebih banyak terjadi dalam hal persyaratan untuk menjadi hakim. Dalam hal ini, status hakim tetap pegawai negeri sipil (PNS), meski pembinaan administrasi, organisasi, serta finansial para hakim kini telah dialihkan dari Departemen Kehakiman dan HAM kepada Mahkamah Agung.

Juru sita dan sanksi

Paling tidak ada tiga perubahan substansial dalam hukum acara PTUN yang diatur dalam perubahan undang-undang ini. Pertama, pengaturan mengenai juru sita. Kedua, pasal tentang sanksi bagi pejabat yang tidak bersedia melaksanakan putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap. Dan ketiga, dihapuskannya Pasal 118 UU No.5/1986 soal hak pihak ketiga untuk mengajukan gugatan perlawanan di PTUN.

Pengaturan mengenai juru sita dalam PTUN terdapat di dalam lima pasal baru yaitu Pasal 39A, Pasal 39B, Pasal 39C, Pasal 39D, dan Pasal 39E. Sebelumnya, UU No.2/1986 tidak mengenal lembaga juru sita, sehingga seringkali eksekusi putusan PTUN seolah-olah diserahkan kepada kerelaan pejabat yang digugat.

Kemudian, untuk memastikan bahwa tidak ada lagi pejabat yang membangkang terhadap putusan peradilan TUN yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, RUU Perubahan UU No.5/1986 menyediakan sanksi yang berlapis.

"Yaitu sanksi berupa uang paksa yang ditetapkan oleh hakim dalam amar putusannya yang harus dibayar oleh pejabat tertentu apabila melampaui waktu yang ditentukan. Demikian pula pengumuman ke media massa setempat nama dari pejabat yang membangkang terhadap putusan peradilan TUN serta adanya sanksi administratif," tegas Zain.

Juru bicara dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Saiful Rahman mengatakan bahwa tindakan pengumuman ke media massa merupakan bagian dari sanksi sosial terhadap pejabat yang menolak melaksanakan putusan peradilan TUN yang berkekuatan hukum tetap. Pengumuman itu sendiri dilakukan oleh panitera pengadilan.

Di samping itu, Pasal 116 ayat (2) RUU Perubahan UU No.5/1986 menyebutkan, "Dalam hal empat bulan setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikirimkan, tergugat tidak melaksanakan kewajibannya… Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi".

Mengenai alasan penghapusan Pasal 118 UU No.5/1986, menurut Zain, karena di dalam praktek gugatan perlawanan dari pihak ketiga dalam suatu sengketa tidak mungkin dilakukan di dalam peradilan TUN.

Menyusul dua undang-undang yang telah disetujui sebelumnya—mengenai Kekuasaan Kehakiman dan Mahkamah Agung--, pada Senin (1/3) Rapat Paripurna DPR kembali menyetujui dua RUU bidang peradilan lainnya untuk disahkan menjadi undang-undang. Kedua RUU tersebut adalah perubahan atas UU No.2/1985 tentang Peradilan Umum dan Perubahan atas UU No.5/1985 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Dalam rapat yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR A.M. Fatwa tersebut, Ketua Badan Legislasi DPR Zain Badjeber mengatakan bahwa perubahan terhadap UU No.2/1986 dan UU No.5/1986 dilakukan untuk menyesuaikan dengan UU Kekuasaan Kehakiman yang baru (UU No.4/2004) sebagai UU induk, dan UU Mahkamah Agung (UU No.5/2004).

Selain itu, Zain melaporkan bahwa dalam perubahan terhadap UU No.2/1986 dan UU No.5/1986 juga terdapat berbagai penyempurnaan terhadap hukum acara di lingkungan peradilan umum maupun PTUN.

Tags: