Benturan antara kepentingan pelaku usaha dengan otoritas penerbit izin (pemerintah) masih saja terkendala praktik suap atau ‘pungutan liar’. Parahnya, suap atau pungli dalam pengurusan administrasi oleh para oknum, baik di instansi pemerintahan (pusat hingga daerah) maupun peradilan hingga kini masih tak bisa terlepas dari stigma ‘sudah menjadi rahasia umum’. Sehingga tak ayal jika peringkat Ease of doing business (EoDB)Indonesia, khususnya untuk kategori dealing with construction permit tetap stagnan diatas peringkat 100.
Terpeliharanya iklim administrasi tak sehat itu, jelas dapat menghantarkan Indonesia menuju iklim berusaha yang tak sehat pula. Artinya, pelaku usaha kerapkali dibiarkan berhadapan dengan pilihan antara terpaksa memenuhi kehendak ‘pemeras’ demi kelancaran bisnisnya atau bertahan menunggu dalam ketidakpastian.
Pengambilan keputusan atas pilihan itu, berbanding lurus dengan risiko yang harus ditanggung pelaku usaha, antara merugi akibat bisnis terhambat ulah izin yang tak kunjung dikeluarkan atau risiko hukum menyandang status pelaku suap.
Atas dasar itu menarik untuk ditelisik, ketika pemungut menciptakan situasi keterpaksaan agar ‘mau tidak mau’ pelaku usaha harus memberi suap atau ‘uang pelicin’,bisakah pelaku usaha memposisikan diri sebagai korban pemerasan? ataukah konsep hukum pidana tak kenal ampun menjerat siapapun yang terlibat dalam lingkaran ‘uang haram’ itu? Hal-hal apa sajakah yang bisa dijadikan alternatif pelaku usaha ketika berhadapan dengan kondisi oknum pejabat yang meminta suap?
Pakar Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara (USU), Mahmud Mulyadi, menyebut setiap bentuk pemerasan yang disambut dengan pemberian uang maka potensi masuknya kasus itu ke ranah pidana penyuapan akan sangat besar.
Baiknya, ia menganjurkan agar pihak yang merasa diperas langsung melapor kepada aparat yang berwenang, tim saber pungli misalnya. Biasanya, kata Mahmud, tim saber pungli akan mengajak pelapor untuk bekerjasama melakukan jebakan-jebakan terhadap oknum pemerintah, sehingga fakta pungli yang dilakukan di lapangan dapat terbongkar.
“Inilah yang akan melepaskan mereka agar tak dianggap suap. Ada tidaknya pelaporan itu pula yang merupakan parameter penentu wilayah abu-abu untuk membedakan antara suap dan pemerasan,” jelasnya.