Putusan MA: ‘Surat Edaran’ Bukan Objek Hak Uji Materiil
Berita

Putusan MA: ‘Surat Edaran’ Bukan Objek Hak Uji Materiil

Tapi dalam perkara lain, pernah dinyatakan sebagai objek HUM karena isinya bersifat regeling.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi palu hakim. Ilustrator: BAS
Ilustrasi palu hakim. Ilustrator: BAS
Majelis hakim agung beranggotakan H Yulius, Yosran dan Irfan Fachruddin menyatakan Surat Edaran (SE) bukanlah objek hak uji materiil (HUM). Karena itu, majelis menolak permohonan yang diajukan seorang warga Nganjuk Jawa Timur terhadap Surat Edaran Bupati Nganjuk No. 140/153/411.010/2015 tentang Penghentian Sementara Pengisian Perangkat Desa.

Sebelum masuk ke substansi permohonan majelis terlebih dahulu menjawab pertanyaan apakah objek permohonan merupakan peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang. Sebab, kewenangan Mahkamah Agung hanya menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang. Ini sesuai dengan ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU Mahkamah Agung  juncto Pasal 1 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil.

Berdasarkan kriteria bentuk luar (kenvorm) atau rumusan perintah pengundangan dan penempatan peraturan perundang-undangan sesuai Pasal 81 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, SE yang menjadi objek HUM tidak memenuhi kriteria ‘peraturan perundang-undangan’. (Baca juga: Surat Edaran, ‘Kerikil’ dalam Perundang-Undangan).

Sebagaimana tertuang dalam putusan No. 48P/HUM/2016 yang salinannya sudah dipublikasikan Mahkamah Agung, majelis menilai SE objek HUM hanya masuk kriteria keputusan administrasi negara yang bersifat umum dengan bentuk atau karakteristik yang addressat-nya tidak ditujukan kepada semua orang, melainkan hanya ditujukan kepada camat se-Kabupaten Nganjuk. “Sehingga tidak tepat dikategorikan sebagai regeling dalam arti peraturan perundang-undangan”. (Baca juga: Keberlakuan SE Kapolri Hate Speech dan Dampak Hukumnya).

Oleh karena objek HUM (Surat Edaran Bupati Nganjuk) bukan merupakan peraturan perundang-undangan maka, menurut majelis, Mahkamah Agung tidak berwenang untuk mengujinya. Konsekuensinya, ‘permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima’. Putusan ini diambil dan dibacakan ada 24 Januari 2017.

Berdasarkan penelusuran Hukumonline, sebenarnya tak selamanya pengujian terhadap SE ditolak Mahkamah Agung. Pelaku kekuasaan kehakiman ini, lewat putusan No. 23P/HUM/2009, membatalkan SE Dirjen Minerba dan Panas Bumi No. 03.E/31/DJB/2009 tentang Perizinan Pertambangan Mineral dan Batubara Sebelum Terbitnya Perppu No. 4 Tahun 2009. Menurut majelis yang mengadili dan memutus perkara ini, walaupun SE tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan, tetapi berdasarkan Penjelasan Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, SE dapat dikategorikan sebagai bentuk peraturan perundang-undangan yang sah, sehingga tunduk pada tata urutan peraturan perundang-undangan.

Pertimbangan yang hampir sama bisa dibaca dalam putusan MA No. 3P/HUM/2010. Di sini, ada surat biasa yang menurut majelis hakim berisi peraturan (regeling), sehingga layak menjadi objek permohonan hak uji materiil sesuai Peraturan Mahkamah Agung (Perma) mengenai Hak Uji Materiil.

Setiap tahun Mahkamah Agung menerima, mengadili dan memutus puluhan permohonan HUM. Pada akhir 2014, tersisa 27 permohonan, ditambah  72 permohonan yang masuk pada tahun 2015. Pada tahun yang sama, Mahkamah Agung memutus 99 permohonan HUM sehingga sisa perkara di akhir tahun 2015 menjadi 0 (nol). Pada tahun 2016, ada 49 permohonan HUM yang masuk. Hingga akhir tahun telah diputus 32 permohonan sehingga tersisa 17 perkara.
Tags:

Berita Terkait