Putusan MK, ‘Idu Geni’, dan Soal Bagian yang Mengikat Oleh: Fajar Laksono*)
Kolom

Putusan MK, ‘Idu Geni’, dan Soal Bagian yang Mengikat Oleh: Fajar Laksono*)

​​​​​​​Mengingat berkekuatan mengikat, pertimbangan hukum putusan MK harus dijauhkan dari uraian yang sekadar mengandalkan otoritas atau diskresi hakim konstitusi dalam memutus.

Bacaan 7 Menit

Pertama, ketakbolehan putusan MK memuat, katakanlah nasihat pada lembaga negara lainseperti dikatakan Thayer, sama artinya dengan mengharap MK memenangi perang besar, tapi menolak untuk mempersenjatainya. Pendapat itu nampaknya secara teori dan praktik sudah ditinggalkan. Sejumlah teoritisi menuliskan tren adanya ‘mandat konstitusional’ yang tertuang dalam putusan MK di berbagai negara. Umumnya, mandat itu dinarasikan dalam pertimbangan hukum.

Peter Paczolay (2008) menyebutnya ‘a constitutional mandate to legislate’. Carias (2010) lebih suka dengan istilah ‘binding orders and directives to the legislator’. Sedangkan, Vanberg (1999) menamai ‘instructions on the drafting of laws’. Memang, mandat konstitusional lebih sering ditujukan kepada pembentuk UU, terutama untuk di follow up pada aksi legislasi selanjutnya. Namun, tak keliru seandaipun itu dimaknai mencakup juga seluruh addressat putusan MK. Faktanya, addressat putusan MK tak hanya pembentuk UU, melainkan juga Pemerintah sebagai pelaksana UU, atau pihak-pihak lain yang dicantumkan dalam putusan.

Merujuk pada praktik, putusan MK Jerman tak menyatakan inkonstitusionalitas suatu UU, tetapi memberikan "teguran” atau “peringatan”, misalnya agar pembentuk UU membuat norma tertentu yang dianggap konstitusional, komplit dengan memberi jangka waktu pelaksanaannya. Itu yang disebut “appellate decisions”.

Di MK Ceko, beberapa putusan memuat “pedoman”, misalnya mengenai seperti apa UU harus dibuat atau bagaimana Pemerintah bertindak agar sesuai  review MK. Betapapun pembentuk UU lebih sering tak mematuhi, tetapi tak serta merta berarti pedoman itu bersifat tak mengikat.

Dalam putusan MK Polandia, dimuat “signalizations”, semacam rambu-rambu untuk mengarahkan perhatian pembentuk UU dan addressat putusan pada hal-hal yang bersifat umum. Hal serupa dipraktikkan MK Austria, Serbia, Kroasia, Kolombia, Dewan Konstitusi Perancis, MK Kroasia, dan lain-lain.

Kedua, di dalam pertimbangan hukum, acapkali MK menuliskan mandat konstitusional untuk (i) menguraikan kaidah hukum berupa penafsiran konstitusi terhadap norma UU yang diuji. Ingat, tafsir MK ini bersifat final (ultimate intepretation) mengakhiri segala polemik tafsir yang ada sebelumnya. Suka tidak suka, atas nama dan demi hukum, semua pihak tanpa kecuali bertunduk pada tafsir MK; (ii) perlu menyatakan secara ekspisit ‘apa dan bagaimana seharusnya agar tercipta suatu kondisi konstitusional’. MK memberi pesan, rambu-rambu, pedoman, pilihan-pilihan, teguran, atau bahkan perintah untuk menghindari jerat problem konstitusional di masa mendatang; dan/atau (iii) memberi panduan mengenai bagaimana seharusnya putusan itu diimplementasikan.

Dengan isi pertimbangan hukum putusan MK di atas, selain tak mudah, memilah mana ratio decidendi dan  mana obiter dicta, agaknya juga tak terlalu relevan dan tak diperlukan. Malah jika dilakukan, itu akan membuat orang semakin gagal memahami putusan atau kesulitan dalam menindaklanjuti putusan karena akan kembali terjebak pada perdebatan mana yang mengikat mana yang tidak. Jadi, sekali lagi, pemilahan dua hal itu itu nampaknya tak kompatibel diterapkan pada putusan MK. Itu hanya cocok untuk ulasan putusan peradilan biasa.

Tags:

Berita Terkait