Putusan MK, ‘Idu Geni’, dan Soal Bagian yang Mengikat Oleh: Fajar Laksono*)
Kolom

Putusan MK, ‘Idu Geni’, dan Soal Bagian yang Mengikat Oleh: Fajar Laksono*)

​​​​​​​Mengingat berkekuatan mengikat, pertimbangan hukum putusan MK harus dijauhkan dari uraian yang sekadar mengandalkan otoritas atau diskresi hakim konstitusi dalam memutus.

Bacaan 7 Menit
Fajar Laksono. Foto: RES
Fajar Laksono. Foto: RES

Ada ‘celetukan’ kawan dari seberang, “Pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) itu tidak mengikat. Itu cuma saran, karena yang mengikat itu amar. Terhadap pendapat itu, saya tidak kaget, tidak ‘gumun’. Pendapat macam itu muncul tak hanya belakangan ini. Tak juga hanya di sini, di Indonesia.

Diskursus globalnya sudah sejak lama. Jauh lebih tua dari umur putusan pertama MK sendiri. Dalam sejumlah kolom tanya jawab, pertanyaan itu juga sering muncul. Tapi jawabannya, mohon maaf, konvensional dan tak aktual basis pendekatannya, jadinya kerap tak memuaskan. Lantas, bagaimana memahami soal ini? Sebetulnya dari putusan MK (dalam perkara pengujian UU) bagian mana yang punya kekuatan hukum mengikat?

Trio Arus Pandangan

Ada tiga arus pandangan terkait hal itu. Masing-masing ditopang argumen pembenarannya. Ketiganya penting dibentangkan. Pertama, yang punya kekuatan mengikat ialah amar putusan. Titik. Kedua, selain amar, ratio decidendi dalam pertimbangan hukum juga mengikat. Ketiga, pertimbangan hukum putusan, seluruhnya bersifat mengikat.

Pada pendapat pertama dikatakan, misalnya oleh James Bradley Thayer (2005), tidak boleh ada pengadilan bertindak menjadi ‘penasihat’ bagi lembaga-lembaga negara lain. Memberikan putusan dengan pendapat atau pertimbangan hukum yang sifatnya nasihat, menurut Thayer, sama sekali bukan pelaksanaan fungsi kehakiman.

Maka dikatakan, putusan macam  itu tak mengandung kualitas kekuasaan kehakiman. Nasihat kata Thayer, tak memiliki kekuatan mengikat dan tidak berlaku. Jadi, siapapun tak perlu buang-buang waktu memahami putusan MK. Cukup baca amar saja, selesai. Dalam pengertian itu, nasihat yang diajukan MK, terutama yang dikemukakan dalam pertimbangan hukum, lebih bersifat rekomendasi ketimbang perintah yang mengikat. Dengan demikian, pembentuk UU atau addressat putusan MK tak terikat pada pertimbangan hukum MK.

Di kelompok kedua, pertimbangan hukum putusan dipilah dua: ratio decidendi dan obiter dicta. Ratio decidendi merupakan bagian yang menjadi dasar atau alasan pokok MK dalam memutus dan itu yang mencetuskan amar. Ratio decidendi tak bisa dipahami terpisah dari amar. Maksudnya, bagian ini punya kekuatan mengikat secara hukum dan bernilai sebagai kaidah hukum. Bahkan, ia mengikat untuk masa depan.

Sementara, obiter dicta merupakan bagian pertimbangan hukum yangtak punya hubungan langsung dengan problem hukum perkara. Ia sekadar ilustrasi atau analogi untuk menyusun argumen guna menentukan pertimbangan hukum. Jadinya, rasio decidendi mengikat, sementara obiter dicta tidak.

Ini sejalan dengan Allan R. Brewer-Carias (2010) yang menyebut adanya instruksi atau perintah dalam putusan yang dikirim MK kepada pembentuk UU atau addressat putusan. Menurut Carias, dalam sejumlah putusan, instruksi itu merupakan rekomendasi yang tidak mengikat (non binding). Namun, pada putusan lain, instruksi itu memiliki karakter wajib (binding).

Pada arus ketiga, pertimbangan hukum putusan MK seluruhnya merupakan bagian integral penafsiran konstitusional berkaitan dengan suatu norma UU yang diuji. Itu pula yang mengikat secara hukum. Setidaknya, itu yang dikatakan V. Guttler, mantan Hakim Konstitusi Ceko (2016). Kelompok ini tak imgin membelah secara tegas mana ratio decidendi dan mana obiter dicta dalam pertimbangan hukum putusan. Keduanya dianggap penting keberadaannya dengan bobot, peran, dan nilainya masing-masing.

Mari dilihat secara lebih terang dan obyektif tiga arus pandangan di atas. Seperti disinggung di awal, amat penting dipahami dulu, putusan MK merupakan produk peradilan konstitusi yang tak bisa disejajarkan dengan putusan peradilan biasa. Betapapun sama-sama putusan, keduanya berbeda karakter, derajat, dan fungsi.

Sebab jelas, putusan MK berderajat (i) erga omnes, bukan hanya berlaku bagi Pemohon, melainkan bagi seluruh warga negara, sebagaimana keberlakuan Konstitusi itu sendiri; (ii) dibuat atas dasar hukum tertinggi bernegara; (iii) menjawab dan mengatasi problem konstitusional yang dikemas dalam perkara; dan (iv) dalam rangka penataan hukum bernegara agar sesuai dengan nilai-nilai keadilan UUD 1945.

Berjejak dari hal-hal di atas, MK merupakan satu-satunya peradilan yang punya otoritas menentukan kehendak UUD 1945, baik masa kini maupun di masa depan. Tujuannya, agar peradaban hukum (UU) dapat ditata tertib dan rapih sebagaimana diinginkan UUD 1945. Pada titik ini, MK mengemban amanat super besar. Apa itu? ‘Menghidupkan’ UUD 1945 untuk mengutuhkan kembali ratusan atau mungkin ribuan UU yang terpisah-pisah, karena terfokus pada suatu masalah konkret tertentu seperti pajak, minerba,  pilkada, otonomi daerah, pemidanaan korupsi, sumber daya air, penyiaran, dan lain-lain, menjadi satu kesatuan sekaligus satu tujuan.

UU merupakan satu kavling bagian saja dari rencana besar menata dan mengarahkan kehidupan negara bangsa ini. Ia tak boleh cerai berai, tanpa atau salah arah, dan semakin larut tak karuan dalam logika masing-masing. Untuk itu, UUD 1945 sudah menggariskan rute dan panduannya. Jika ada UU yang menyimpang, ia harus digiring kembali ke jalan yang benar, menyatu pada nilai-nilai, visi, dan kosmologi bangsa Indonesia yang terkandung dalam UUD 1945. Di pundak MK pada akhirnya itu disandarkan. Hal itu hanya dapat dilakukan MK melalui pendayagunaan putusannya.

Pertimbangan Hukum Mengikat dan ‘Idu Geni’

Dalam kerangka pemahaman demikian, ada sejumlah argumentasi utama yang dapat dikemukakan dan penting dipahami untuk menegaskan mengikat atau tidaknya pertimbangan hukum dalam putusan MK.

Pertama, ketakbolehan putusan MK memuat, katakanlah nasihat pada lembaga negara lainseperti dikatakan Thayer, sama artinya dengan mengharap MK memenangi perang besar, tapi menolak untuk mempersenjatainya. Pendapat itu nampaknya secara teori dan praktik sudah ditinggalkan. Sejumlah teoritisi menuliskan tren adanya ‘mandat konstitusional’ yang tertuang dalam putusan MK di berbagai negara. Umumnya, mandat itu dinarasikan dalam pertimbangan hukum.

Peter Paczolay (2008) menyebutnya ‘a constitutional mandate to legislate’. Carias (2010) lebih suka dengan istilah ‘binding orders and directives to the legislator’. Sedangkan, Vanberg (1999) menamai ‘instructions on the drafting of laws’. Memang, mandat konstitusional lebih sering ditujukan kepada pembentuk UU, terutama untuk di follow up pada aksi legislasi selanjutnya. Namun, tak keliru seandaipun itu dimaknai mencakup juga seluruh addressat putusan MK. Faktanya, addressat putusan MK tak hanya pembentuk UU, melainkan juga Pemerintah sebagai pelaksana UU, atau pihak-pihak lain yang dicantumkan dalam putusan.

Merujuk pada praktik, putusan MK Jerman tak menyatakan inkonstitusionalitas suatu UU, tetapi memberikan "teguran” atau “peringatan”, misalnya agar pembentuk UU membuat norma tertentu yang dianggap konstitusional, komplit dengan memberi jangka waktu pelaksanaannya. Itu yang disebut “appellate decisions”.

Di MK Ceko, beberapa putusan memuat “pedoman”, misalnya mengenai seperti apa UU harus dibuat atau bagaimana Pemerintah bertindak agar sesuai  review MK. Betapapun pembentuk UU lebih sering tak mematuhi, tetapi tak serta merta berarti pedoman itu bersifat tak mengikat.

Dalam putusan MK Polandia, dimuat “signalizations”, semacam rambu-rambu untuk mengarahkan perhatian pembentuk UU dan addressat putusan pada hal-hal yang bersifat umum. Hal serupa dipraktikkan MK Austria, Serbia, Kroasia, Kolombia, Dewan Konstitusi Perancis, MK Kroasia, dan lain-lain.

Kedua, di dalam pertimbangan hukum, acapkali MK menuliskan mandat konstitusional untuk (i) menguraikan kaidah hukum berupa penafsiran konstitusi terhadap norma UU yang diuji. Ingat, tafsir MK ini bersifat final (ultimate intepretation) mengakhiri segala polemik tafsir yang ada sebelumnya. Suka tidak suka, atas nama dan demi hukum, semua pihak tanpa kecuali bertunduk pada tafsir MK; (ii) perlu menyatakan secara ekspisit ‘apa dan bagaimana seharusnya agar tercipta suatu kondisi konstitusional’. MK memberi pesan, rambu-rambu, pedoman, pilihan-pilihan, teguran, atau bahkan perintah untuk menghindari jerat problem konstitusional di masa mendatang; dan/atau (iii) memberi panduan mengenai bagaimana seharusnya putusan itu diimplementasikan.

Dengan isi pertimbangan hukum putusan MK di atas, selain tak mudah, memilah mana ratio decidendi dan  mana obiter dicta, agaknya juga tak terlalu relevan dan tak diperlukan. Malah jika dilakukan, itu akan membuat orang semakin gagal memahami putusan atau kesulitan dalam menindaklanjuti putusan karena akan kembali terjebak pada perdebatan mana yang mengikat mana yang tidak. Jadi, sekali lagi, pemilahan dua hal itu itu nampaknya tak kompatibel diterapkan pada putusan MK. Itu hanya cocok untuk ulasan putusan peradilan biasa.

Ketiga, mandat konstitusional putusan MK itu dapat dimuat dalam pertimbangan hukum pada putusan dengan apapun jenis amar putusan. Itu sudah dipraktikkan. Di putusan dengan amar “dikabulkan”, sudah pasti, karena ada legal policy yang diubah. Tidak ada masalah. Di luar itu, dulu dalam putusan pengujian UU Pencegahan Penodaan Agama, walaupun amar ditolak, pertimbangan hukumnya menguraikan secara menarik tafsir konstitusi MK mengenai bagaimana kehendak UUD 1945 perihal hubungan negara dengan agama. Untuk apa rupanya MK ‘berbuih-buih’ menyatakan tafsir konstitusionalnya dalam pertimbangan hukum setebal itu, kalau tak mengikat?

Di samping itu, pada putusan MK Nomor  138/PUU-VIII/2009 amarnya “tidak dapat diterima”, tetapi pertimbangan hukum putusan itu mengimplikasikan akibat hukum penting, yakni menjadi garis awal bagi rezim MK yang berwenang menguji perpu. Itu jelas tak ada tertera di amar. Kalaulah pertimbangan hukum tak mengikat, barangkali sampai kini ‘haram’ hukumnya MK menguji materi perpu.

Dari ketiga argumentasi itu, jelaslah bahwa apapun pernyataan MK di dalam putusan, termasuk pertimbangan hukum, haruslah dipandang sebagai pernyataan MK untuk to say what the law is, seperti kata John Marshall. Juga menegaskan pernyataan Charles Evans Hughes, the Constitution is what the judges say it is.

Maka, wajarlah analogi Satjipto Rahardjo, yang dikutip berulang-ulang kali oleh Budiman Tanuredjo, bahwa putusan MK yang dibuat sembilan hakim konstitusi ibarat ‘idu geni’ (ludah api). Apabila pertimbangan hukum putusan MK diberi ‘labeling’ tidak punya kekuatan mengikat, sulit membayangkan MK pernah mampu secara optimal mengemban tugas konstitusional yang amat besar.

Menyadari sepenuhnya hal itu, MK selalu berhati-hati dengan ‘idu geni’-nya. Untuk itu, mengingat berkekuatan mengikat, pertimbangan hukum putusan MK harus dijauhkan dari uraian yang sekadar mengandalkan otoritas atau diskresi hakim konstitusi dalam memutus. Pertimbangan hukum haruslah kokoh dibangun dari proses kolaboratif antara pendayagunaan pengetahuan hukum, penguasaan konstitusi dan ketatanegaraan, serta respek integritas profesional hakim konstitusi sebagai ahli-ahli hukum terbaik negeri ini untuk menjaga constitutional values. Jadi, putusan itu akan selalu dapat dipertanggung jawabkan secara moral, yuridis, teori, dan praktik serta menang ketika didebat oleh siapapun.

Di samping itu, pertimbangan hukum sudah seharusnya pula mencerminkan betapa luasnya daya jelajah pikir hakim konstitusi, meliputi backward dan utamanya forward looking, terutama untuk memandu agar putusan MK implementable, tidak ambigu, dan tuntas merampungkan masalah tanpa kesulitan serta tak menimbulkan persoalan baru.

Kembali ke celetukan kawan di awal. Mungkin tulisan ini akan mengubah pendirian dan mampu meyakinkannya secara ‘legowo’ bahwa pertimbangan hukum putusan MK itu bersifat mengikat, sepanjang ia memahami  betul-betul esensi makna pernyataan lantang seorang Presiden: Saya hanya akan tunduk pada Konstitusi!

*)Dr. Fajar Laksono Suroso, Pengajar pada FH Universitas Brawijaya. Artikel ini merupakan pendapat pribadi Penulis dan tidak merepresentasikan lembaga atau institusi manapun.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait