Putusan MK, ‘Idu Geni’, dan Soal Bagian yang Mengikat Oleh: Fajar Laksono*)
Kolom

Putusan MK, ‘Idu Geni’, dan Soal Bagian yang Mengikat Oleh: Fajar Laksono*)

​​​​​​​Mengingat berkekuatan mengikat, pertimbangan hukum putusan MK harus dijauhkan dari uraian yang sekadar mengandalkan otoritas atau diskresi hakim konstitusi dalam memutus.

Bacaan 7 Menit

Ini sejalan dengan Allan R. Brewer-Carias (2010) yang menyebut adanya instruksi atau perintah dalam putusan yang dikirim MK kepada pembentuk UU atau addressat putusan. Menurut Carias, dalam sejumlah putusan, instruksi itu merupakan rekomendasi yang tidak mengikat (non binding). Namun, pada putusan lain, instruksi itu memiliki karakter wajib (binding).

Pada arus ketiga, pertimbangan hukum putusan MK seluruhnya merupakan bagian integral penafsiran konstitusional berkaitan dengan suatu norma UU yang diuji. Itu pula yang mengikat secara hukum. Setidaknya, itu yang dikatakan V. Guttler, mantan Hakim Konstitusi Ceko (2016). Kelompok ini tak imgin membelah secara tegas mana ratio decidendi dan mana obiter dicta dalam pertimbangan hukum putusan. Keduanya dianggap penting keberadaannya dengan bobot, peran, dan nilainya masing-masing.

Mari dilihat secara lebih terang dan obyektif tiga arus pandangan di atas. Seperti disinggung di awal, amat penting dipahami dulu, putusan MK merupakan produk peradilan konstitusi yang tak bisa disejajarkan dengan putusan peradilan biasa. Betapapun sama-sama putusan, keduanya berbeda karakter, derajat, dan fungsi.

Sebab jelas, putusan MK berderajat (i) erga omnes, bukan hanya berlaku bagi Pemohon, melainkan bagi seluruh warga negara, sebagaimana keberlakuan Konstitusi itu sendiri; (ii) dibuat atas dasar hukum tertinggi bernegara; (iii) menjawab dan mengatasi problem konstitusional yang dikemas dalam perkara; dan (iv) dalam rangka penataan hukum bernegara agar sesuai dengan nilai-nilai keadilan UUD 1945.

Berjejak dari hal-hal di atas, MK merupakan satu-satunya peradilan yang punya otoritas menentukan kehendak UUD 1945, baik masa kini maupun di masa depan. Tujuannya, agar peradaban hukum (UU) dapat ditata tertib dan rapih sebagaimana diinginkan UUD 1945. Pada titik ini, MK mengemban amanat super besar. Apa itu? ‘Menghidupkan’ UUD 1945 untuk mengutuhkan kembali ratusan atau mungkin ribuan UU yang terpisah-pisah, karena terfokus pada suatu masalah konkret tertentu seperti pajak, minerba,  pilkada, otonomi daerah, pemidanaan korupsi, sumber daya air, penyiaran, dan lain-lain, menjadi satu kesatuan sekaligus satu tujuan.

UU merupakan satu kavling bagian saja dari rencana besar menata dan mengarahkan kehidupan negara bangsa ini. Ia tak boleh cerai berai, tanpa atau salah arah, dan semakin larut tak karuan dalam logika masing-masing. Untuk itu, UUD 1945 sudah menggariskan rute dan panduannya. Jika ada UU yang menyimpang, ia harus digiring kembali ke jalan yang benar, menyatu pada nilai-nilai, visi, dan kosmologi bangsa Indonesia yang terkandung dalam UUD 1945. Di pundak MK pada akhirnya itu disandarkan. Hal itu hanya dapat dilakukan MK melalui pendayagunaan putusannya.

Pertimbangan Hukum Mengikat dan ‘Idu Geni’

Dalam kerangka pemahaman demikian, ada sejumlah argumentasi utama yang dapat dikemukakan dan penting dipahami untuk menegaskan mengikat atau tidaknya pertimbangan hukum dalam putusan MK.

Tags:

Berita Terkait