Putusan MK Disebut Tak Pengaruhi Syarat Menjadi Kuasa Wajib Pajak
Utama

Putusan MK Disebut Tak Pengaruhi Syarat Menjadi Kuasa Wajib Pajak

Perubahan pengaturan soal konsep Kuasa Wajib Pajak ini memang seringkali berubah-ubah seiring berubahnya aturan yang menaunginya. Ada beberapa persyaratan-persyaratan yang muncul di satu produk aturan, namun kemudian dibatasi, dimunculkan bahkan dihilangkan kembali.

Oleh:
Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit

 

(Baca Juga: Kini, Advokat Boleh Tangani Sengketa Pajak Tanpa Syarat)

 

Sebagai contoh, kata Petrus, posisi kuasa terkait hak dan kewajibannya itu sangat berkaitan dengan hak dan pembelaan kepada pembayar pajak yang sifat pengaturannya subtantif. Jika tetap diatur dalam aturan selevel menteri, maka membuka lebar potensi conflict of interest. Soalnya, baik menteri maupun dirjen adalah pelaksana UU (eksekutif) yang berhadapan langsung dengan kuasa wajib pajak. Bahkan, kata Petrus, untuk mengangkat konsultan pajak itu kewenangannya hanya ada pada dirjen.

 

“Sehingga sangat tidak masuk akal jikalau wajib pajak menggantungkan nasibnya kepada kuasa wajib pajak yang diangkat oleh dirjen pajak. Di sana saja sudah terjadi conflict of interest,” pungkas Petrus.

 

Managing Partner DDTC, Darussalam, juga menganggap bahwa ada tidaknya putusan MK tidak mempengaruhi wewenang seorang advokat perpajakan untuk dapat menjadi kuasa wajib pajak. Dalam penjelasannya, Darussalam menyebut mengenai siapa yang berhak menguasakan wajib pajak itu hanya terdiri dari 2 pasal, yakni;

 

  1. Pasal 32 ayat (3a) UU KUP, mendelegasikan pengaturan lebih lanjut di dalam PMK, (selanjutnya diatur dalam PMK 229/2014) dan;
  2. Pasal 48 UU KUP, mendelegasikan pengaturan lebih lanjut melalui PP, (selanjutnya diatur dalam PP 74/2011)

 

Menariknya, kata Darussalam, dua aturan lanjutan UU KUP tersebut mengatur dua hal yang sama namun dengan muatan aturan yang berbeda. Dalam PMK 229 dibatasi yang dapat menjadi Kuasa Wajib Pajak hanyalah Konsultan Pajak yang telah tersertifikasi oleh PPSKP ataupun Pensiunan Pegawai Ditjen Pajak, sementara dalam PP 74 dibuka kesempatan bagi non-konsultan dengan persyaratan tertentu untuk menjadi kuasa wajib pajak.

 

(Baca Juga: Putusan Advokat Boleh Tangani Perkara Pajak, Begini Pandangan Pakar)

 

“Sehingga sekalipun ada pengujiannya di MK, tetap tidak ada hubungannya dengan profesi saya selama ini, karena saya menggunakan PP 74 saat mendampingi kuasa saya. Mungkin beliau (pemohon JR) waktu itu ditolak di DJP karena menggunakan PMK 229,” ungkap Darussalam.

 

Konsep Ideal “Kuasa Wajib Pajak”

Perubahan pengaturan soal konsep Kuasa Wajib Pajak ini memang seringkali berubah-ubah seiring berubahnya aturan yang menaunginya. Ada beberapa persyaratan-persyaratan yang muncul di satu produk aturan, namun kemudian dibatasi, dimunculkan bahkan dihilangkan kembali.

Tags:

Berita Terkait