Putusan Nihil Heru Hidayat, Majelis Hakim Dinilai Terbelenggu Konsep Keadilan Prosedural
Terbaru

Putusan Nihil Heru Hidayat, Majelis Hakim Dinilai Terbelenggu Konsep Keadilan Prosedural

Hakim terkesan terbelenggu pada konsep keadilan prosedural, bukan keadilan substantif. Hakim seharusnya bersikap progresif menemukan hukum, bukan malah menyerah pada sifat prosedural hukum dengan mengesampingkan rasa keadilan masyarakat.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera, Heru Hidayat, terdakwa korupsi PT Asabri saat menjalani sidang putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (18/1/2022). Foto: RES
Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera, Heru Hidayat, terdakwa korupsi PT Asabri saat menjalani sidang putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (18/1/2022). Foto: RES

Kendati terdakwa dalam kasus tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang dalam kasus Asabri, Heru Hidayat divonis bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, namun putusan nihil. Vonis ini ditanggapi kalangan akademisi. Sebab, putusan tersebut tidak menjatuhkan hukuman pidana penjara. Padahal, tuntutan hukuman jaksa dalam rekuisitornya berupa hukuman mati.

“Putusan ini jauh dari tuntutan penuntut umum dan mencederai nalar hukum. Karena orang yang merugikan negara sangat banyak malah tidak diberi pidana penjara,” ujar Direktur Solusi dan Advokasi (SA) Institut, Suparji Ahmad kepada Hukumonline, Rabu (19/1/2022).

Suparji menilai putusan majelis hakim pengadilan Tipikor terlihat aneh dari aspek rasa keadilan masyarakat. Kendati putusan pengadilan harus dihormati, namun bukan menerima begitu saja. Putusan pengadilan harus tetap dikritisi dan dikaji mendalam. Salah satu yang perlu dieksaminasi terkait pertimbangan hakim yang berkutat pada tidak dimasukkannya Pasal 2 ayat (2) UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor dalam surat dakwaan, yang berujung menjadi dasar tidak dijatuhinya pidana mati atau pidana lain.

Dia menilai hakim terkesan terbelenggu pada konsep keadilan prosedural, bukan keadilan substantif yang diharapkan olah masyarakat luas. Menurutnya, majelis hakim seharusnya bersikap progresif untuk menemukan hukum, bukan malah menyerah pada sifat prosedural hukum dengan mengesampingkan rasa keadilan masyarakat.

“Dapat dibayangkan Heru Hidayat dihukum seumur hidup dalam perkara tipikor Asuransi Jiwasraya dengan kerugian negara yang timbul sebesar Rp 16,7 triliun. Akan tetapi tanpa menjatuhkan hukuman pidana kepada Heru Hidayat dalam kasus korupsi Asabri, padahal kerugian yang timbul lebih besar yaitu Rp 22,7 triliun,” bebernya. (Baca: Pembelaan Heru Hidayat Terdakwa Korupsi Asabri yang Dituntut Hukuman Mati)

Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) itu berpendapat, majelis hakim terkesan tidak melihat akibat yang mungkin terjadi apabila Heru Hidayat menggunakan upaya hukum peninjauan kembali (PK) atas putusan perkara tipikor Asuransi Jiwasraya yang untuknya diganjar hukuman seumur hidup. Bila putusan PK tersebut, misalnya, memutuskan dengan hukuman pidana penjara 10 tahun atau 15 tahun.

“Itu artinya Pengadilan telah memutuskan 2 perkara Tipikor Asransi Jiwasraya dan Asabri dengan total kerugian keuangan negara sekitar Rp 39 triilun dengan hukuman pidana yang teramat ringan yaitu 10 tahun atau 15 tahun,” lanjutnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait