Putusan Pengadilan ‘Landmark’ Terkait Penggunaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE
Berita

Putusan Pengadilan ‘Landmark’ Terkait Penggunaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE

Diharapkan, aparat penegak hukum terutama Hakim dapat menggunakan putusan-putusan baik sebagai bahan rujukan dalam memberi pertimbangan hukum.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Foto: NNP
Foto: NNP

Sejak UU No.11Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) disahkan, tercatat setidaknya ada 20 putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) berkaitan dengan kasus penghinaan yang melibatkan pengguna internet yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE. 

Dari 20 putusan pengadilan itu, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi W. Eddyono, mengatakan paling tidak ada delapan putusan pengadilan yang memuat pertimbangan Hakim yang cukup baik berkaitan dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE. “Dari 20 kasus, setidaknya ada sejumlah putusan yang bisa dijadikan pelajaran bagi putusan-putusan yang lain,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (13/2).

Dari catatan ICJR, paling tidak ada tiga pertimbangan penting yang dibuat oleh Majelis Hakim, baik di tingkat Pengadilan Negeri maupun di tingkat Mahkamah Agung (MA) yang dinilai telah sesuai dengan kaidah hukum acara pidana dan telah memposisikan perlindungan bagi kebebasan berekspresi pada posisinya. Pertimbangan yang pertama, yakni terkait dengan penegasan Pasal 27 ayat (3) UU ITE sebagai delik aduan absolut.

Oleh karena  sebagai delik  aduan  absolut, maka yang boleh melaporkan tentang adanya dugaan pencemaran nama baik hanyalah orang yang menjadi ‘korban’ secara langsung. Kebanyakan, sejumlah kasus seperti salah satunya di PN Bantul, di mana pihak pelapor bukanlah orang yang menjadi ‘korban’ secara langsung. Untungnya, Majelis Hakim PN Bantul, yakni Sulistyo M Dwi Putro selaku Ketua Majelis dan Zaenal Arifin dan Andy Nurvita, masing-masing sebagai Hakim Anggota punya pertimbangan yang cukup baik.

Dalam putusan perkara Nomor 196/Pid.Sus/2014/PN.BTL itu, pertimbangan Majelis Hakim merujuk kepada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) perkara nomor 50/PUU-VI/2008 yang menyatakan bahwa penafsiran norma yang termuat dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak bisa dilepaskan dari genusnya, yaitu norma hukum yang termuat dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. “Menjadi catatan bahwa dalam beberapa kasus, Pasal 27 ayat (3) UU ITE dijadikan seakan delik biasa,” tambahnya.

Putusan serupa lainnya, yakni Putusan PN Raba Bima dalam perkara Nomor 292/Pid.B/2014/PN.Rbi. Singkatnya, kasus itu berawal dari komentar Khairudin M. Ali yang merupakan Koordinator Bidang Pengawasan dan Hubungan Antar Lembaga Panwaslu Kota Bima di facebook terkait dengan dugaan pelanggaran dalam Pemilu tahun 2014 lalu. Karena komentarnya itu, Ketua KPU Kota Bima, Nurfahati melaporkannya ke Polisi sekira Februari tahun 2014.

Untungnya, Majelis Hakim memutus Khairudin selaku Terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim berpendapat apabila suatu pernyataan tidak ada penyebutan nama secara langsung, maka pernyataan tersebut tidak memiliki muatan penghinaan. “PN Raba Bani menegaskan pentingnya penyebutan nama yang dibarengi dengan adanya tuduhan,” ujarnya. 

Pertimbangan penting yang kedua, yakni mengenai validasi bukti elektronik (digital evidence). Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE menyatakan bahwa bukti elektronik selain sebagai alat bukti surat dan alat bukti petunjuk, keduanya dianggap sebagai alat bukti baru di samping alat bukti  yang telah ada dalam KUHAP. Selain itu, Pasal 6 UU ITE mengatur bahwa bukti elektronik dianggap sah apabila dapat diakes, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan seluruhnya.

ICJR mencatat ada dua kasus yang menunjukkan kecermatan Majelis Hakim dalam mempertimbangkan soal bukti elektronik dan validasi bukti elektronik, yakni dalam Putusan PN Jakarta Selatan perkara No.1832/Pid.B/2012/PN.Jkt.Sel. Kasus itu berawal ketika akun twitter @fajriska menuding Marwan Effendi, yang kala  itu menjabat Asisten  Pidana Khusus Kejati DKI Jakarta lantaran menggelapkan uang barang bukti kasus korupsi Bank BRI senilai Rp500 miliar sekira tahun 2003.

Singkat cerita, Majelis Hakim pada PN Jakarta Selatan akhirnya memutuskan M  Fajrika Firza, yang diduga pemilik akun twitter @fajriska tidak terbukti melakukan tindak pidana. Untuk membuktikan apakah akun itu benar-benar dimiliki atau dikelola oleh terdakwa, Majelis Hakim melakukan eksaminasi dan memperhatikan keterangan para saksi di persidangan yang akhirnya membawa kepada kesimpulan bahwa nama pada suatu akun twitter bisa saja dibuat oleh orang lain dengan membuat nama tertentu.

Dalam kasus serupa lainnya, Majelis Hakim pada PN Makasar dalam perkara Nomor 390/Pid.B/2014/PN.Mks. juga memutuskan M. Arsyad selaku Terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana. Singkatnya, kasus itu diawali lantaran Arsyad menulis  personal message di BBM miliknya yang dinilai menyerang kehormatan A. Kadir Halid yang ketika itu tengah mengikuti proses pemilihan Walikota Makasar sekira tahun 2013.

Yang menarik, Majelis Hakim ketika itu menggunakan dua cara validasi untuk membuktikan bukti  print out status BBM dengan No.  PIN   215000AA   adalah  milik   Arsyad.  Pertama, dengan menghadirkan dua orang atau lebih orang yang berteman dalam kontak BBM untuk membuktikan apakah pemilik PIN  BBM itu adalah Arsyad. Kedua, dengan pemeriksaan digital forensik oleh ahli IT untuk memastikan pemilik PIN BBM itu menuliskan status tersebut.

“Dalam beberapa putusan yang baik, penelitian ini menemukan Hakim telah secara cermat menggunakan konsep validasi bukti elektronik,” sebutnya.

Pertimbangan yang ketiga, yakni mengenai alasan pembenar. Hal ini berkaitan dengan rumusan “dengan sengaja dan tanpa hak”  dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Dalam catatan ICJR, salah satu putusan PN Tangerang pada perkara No. 1269/PID.B/2009/PN.TNG menjadi salah satu bukti bahwa Majelis Hakim mempertimbangkan unsur “tanpa hak” sebagai alasan pembenar apakah orang bisa dipidana atau tidak boleh dipidana.

Kasus pidana yang menimpa Prita Mulyasari ini menunjukkan bahwa apabila suatu perbuatan dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri, maka punya konsekuensi di mana seseorang berhak mendistribusikan, mentransmisikan, membuat dapat diakses informasi elektronik meskipun isinya bersifat penghinaan. Sehingga dalam putusannya, Majelis Hakim di PN Tangerang menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan Prita lewat emailnya itu bukan termasuk pengertian menista.

“Salah satu kemajuan besar yang dilakukan beberapa pengadilan yang berhasil diteliti adalah adanya pengakuan atas alasan penghapusan pidana. Beberapa alasannya seperti demi kepentingan umum, kebenaran pernyataan, dan pernyataan yang dilakukan dalam menjalankan tugas karena undang-undang,” pungkasnya.

Masuk Ranah Perdata
Di tempat yang sama, advokat yang juga mantan Ketua Komnas HAM periode 2007-2012, Ifdhal Kasim, menilai pengaturan mengenai penghinaan dan pencemaran nama baik, sebaiknya masuk ke ranah perdata. Artinya, pihak yang merasa nama baiknya dicemarkan bisa  menggugat secara perdata ke pengadilan. Salah satu alasannya, kata  Ifdhal, untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan aparat penegak hukum.

“Jadi bisa gugat secara perdata. Bukan negara yang ambil alih tetapi orang yang bersengketa ke orang secara langsung,” katanya.

Hal yang melatarbelakangi pendapatnya Ifdhal, lantaran Dewan HAM PBB menilai pasal pencemaran nama baik dalam praktik di beberapa negara sering disalahgunakan oleh para penguasa. Sehingga, Dewan HAM PBB merekomendasikan agar ketentuan ini menjadi bagian ranah perdata. Selain itu dari sisi HAM, pidana pencemaran nama baik tidak sejalan dengan upaya menjaga martabat dan reputasi seseorang. Pasalnya, kata Ifdhal, perlindungan HAM terkait martabat  dan  reputasi  seseorang  tidak  bersifat  mutlak. Dalam arti, ada batasan-batasan perlindungan terhadap seseorang.

“Perlindungan tidak absolut namun sifatnya derogable atau bisa dibatasi,” tukas Wakil Ketua Umum DPN PERADI kepengurusan Luhut MP Pangaribuan.
Tags:

Berita Terkait