R-KUHP dan Potensi Legitimasi Impunitas
Kolom

R-KUHP dan Potensi Legitimasi Impunitas

Dengan diaturnya delik pelanggaran berat terhadap HAM dalam KUHP baru, membuat pelaku semakin sulit untuk diadili.

Bacaan 5 Menit

Dengan dimasukannya ketentuan pelanggaran HAM berat dalam R-KUHP juga tentu saja menimbulkan beberapa implikasi, seperti sulitnya kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu diseret ke bangku pengadilan. Sebab dalam ilmu hukum, kita mengenal asas lex posteriori derogate legi priori yang mana berdampak pada dikesampingkannya ketentuan dalam Pengadilan HAM dan pemberlakuan ketentuan baru dalam R-KUHP. Pemberlakuan tersebut juga meniadakan kekhususan asas dan prinsip hukum pidana dalam UU Pengadilan HAM. Ditariknya delik-delik pelanggaran berat terhadap HAM dengan menggunakan prinsip-prinsip umum merupakan pencideraan terhadap semangat kekhususan extra ordinary crime. Kejahatan luar biasa harus ditangani dengan cara-cara yang luar biasa pula.

Asas hukum yang otomatis hilang misalnya pengecualian terhadap asas nulum delictum sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM, yang menyatakan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc. Artinya penyimpangan asas berlaku surut dapat dilakukan dalam mengusut kejahatan pelanggaran HAM berat masa lalu. Sementara itu dalam buku I R-KUHP ketentuan pengecualian tersebut tidak diatur sama sekali. Hal ini yang akan menjadi legitimasi dari impunitas, pelaku pelanggaran HAM berat sebelum diundangkannya R-KUHP dengan mudah berdalih dibalik asas legalitas.

Saat ini saja dengan adanya UU Pengadilan HAM, penyelesaian pelanggaran HAM berat tidak dapat dilakukan secara maksimal. Hal ini disebabkan diseretnya kasus-kasus pelanggaran HAM berat ke ranah politik dan banyak melibatkan kepentingan penguasa. Tidak adanya political will dari pemerintah juga merupakan penyebab mandeknya keseluruhan kasus yang ada.

Sebelumnya Komnas HAM telah melakukan penyelidikan terhadap beberapa kasus pelanggaran HAM berat seperti Peristiwa 65-66, Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari Lampung 1989, Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Simpang KKA Aceh 3 Mei 1999, Peristiwa Jambu Keupok Aceh 2003, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Peristiwa Rumah geudong Aceh 1998, Peristiwa Paniai 2014, Peristiwa Wasior dan Wamena 2001. Akan tetapi berkasnya hanya bolak-balik antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung, nampak tak ada keseriusan dari Negara untuk mengusut tuntas dosa-dosa lama yang pernah dilakukan. Adapun kasus-kasus yang sudah diteruskan sampai tahap pengadilan seperti Tanjung Priok, Timor Timur, dan Abepura pun tidak mendapatkan penyelesaian hukum secara adil dan bermartabat. Kesemua pelaku lolos dari vonis majelis hakim.

Walaupun Pasal 187 R-KUHP telah mengatur pengecualian yang dapat dilakukan oleh UU di luar R-KUHP yakni terkait prinsip dan ketentuan hukum pidana, namun demikian ketentuan peralihan Pasal 617 ayat (1) RKUHP menyebutkan bahwa “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, setiap Undang-Undang yang memuat ketentuan pidana harus menyesuaikan dengan ketentuan Buku Kesatu Undang-Undang ini”. Itu artinya asas-asas kekhususan dalam UU Pengadilan HAM harus patuh dan mengikuti ketentuan yang diatur dalam R-KUHP.

Selain asas retroaktif yang hilang, jangka waktu daluarsa penuntutan pun akan mengikuti apa yang diatur dalam R-KUHP yaitu selama 20 tahun. Hal ini berbeda dengan apa yang diatur dalam Pasal 46 UU Pengadilan HAM yang tidak menentukan adanya jangka waktu daluarsa. Sementara itu, kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang belum diusut waktunya sudah melebihi 20 tahun. Pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu juga dapat mudahnya mendalihkan kadaluarsa menuntut sebagai celah untuk mereka lepas dari pertanggungjawaban hukum. Norma bermasalah lainnya yakni ketentuan percobaan (poging) di R-KUHP. Sebelumnya dalam UU Pengadilan HAM, percobaan diancam pidana yang sama dengan pelaku utama. Namun jika R-KUHP berlaku, maka pelaku percobaan hanya akan mendapatkan maksimum 2/3 dari pidana yang ada.

Dengan demikian, keberlakuan R-KUHP nantinya akan menyebabkan hilangnya kekhususan dalam UU 26 Tahun 2000 sehingga pelaku pelanggaran HAM berat bisa bebas melenggang menikmati impunitas tanpa pernah merasakan pemeriksaan di sidang peradilan. Ketentuan delik khusus seperti halnya pelanggaran berat terhadap HAM, korupsi, terorisme, narkotika, dan TPPU seharusnya tidak perlu untuk dimasukan ke R-KUHP. Pengaturan tersebut hanya menambah persoalan dan mendelegitimasi kewenangan lembaga khusus yang menangani tindak pidana terkait. Delik-delik khusus tersebut sudah seharusnya dicabut dari R-KUHP dan biarkan UU existing tetap berlaku secara efektif.

*)Rozy Brilian Sodik, Peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait