R Soeleiman E Koesoema Atmadja, Doktor Hukum dari Leiden yang Pro-Republik
Tokoh Hukum Kemerdekaan

R Soeleiman E Koesoema Atmadja, Doktor Hukum dari Leiden yang Pro-Republik

Koesoema Atmadja adalah anggota penasihat hukum pemerintah dalam perundingan-perundingan melawan Belanda. Setelah merdeka, ia ditunjuk menjadi Ketua Mahkamah Agung yang pertama. Dikenang sebagai hakim yang berwibawa.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 6 Menit

Dari Padang, Koesoema Atmadja pindah tugas ke Raad van Justitie Jakarta, dan bekerja di sini hingga 1938. Selanjutnya ia dipindahkan ke Semarang, dan bertugas di sana hingga pendudukan Jepang.

Hukumonline.com

Raden Soeleiman Effendi Koesoema Atmadja. Ilustrasi: BAS

Hakim pro-republik

Dalam disertasinya, Indonesianis Sebastiaan Pompe, menceritakan bahwa hakim-hakim Indonesia bertindak sebagai pelayan setia negara kolonial dan sering berhadapan dengan gerakan kemerdekaan. Ketika Jepang masuk, hakim-hakim Indonesia adalah minoritas dalam yurisdiksi Landraad yang mengadili perkara-perkara politik bangsa Indonesia. Dari 60 orang hakim Indonesia yang tercatat pada 1942, sebanyak 23 orang adalah lulusan universitas, sisanya lulusan sekolah hukum (Rechtsschool).

Catatan Jepang mengenai orang-orang terkemuka di Jawa memasukkan nama Koesoema Atmadja. Namanya pernah disebut dalam Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang melakukan kegiatan rahasia, dan kemudian dibubarkan pada 1 Juni 1945. Bersama Djoeanda dan M. Enoch, Koesoema Atmadja pernah membentuk partai politik di Jawa Barat yang mendukung cita-sita Repulik: Pagoejoeban Pasoendan. Pompe merujuk pendirian partai ini pada laporan polisi rahasia Batavia pada 30 Desember 1947. Pompe juga menuliskan bahwa mobil Koesoema Atmadja pernahy dicuri oleh pasukan Belanda pada 1946, yang berkembangan menjadi insiden politik.

Ketika konflik politik menguat sejak 1930 hingga 1940-an, tidak satu pun hakim Indonesia yang mengundurkan diri. Walaupun terkadang ada upaya kompromi, realitasnya sebagian dari hakim ini berdiri di kubu kolonial. Setelah kemerdekaan, Pompe mencatat, dari 23 hakim senior Indonesia, hanya 9 orang yang bertahan di kubu Republik pada 1948. Kesembilan hakim senior yang memihak Republik itu adalah Koesoema Atmadja, Wirjono Prodjodikoro, Wirjono Koesoemo, R. Soekardono, Satochid Kartanegara, Soerjotjokro, Tirtaamidjaja, Gondokoesoemo, dan Aroeman. Koesoema Atmadja digambarkan sebagai ‘seorang hakim yang muncul dari revolusi dengan catatan pro-republik tak tercela’, meskipun ada dugaan bahwa kalangan pemuda kurang suka kepadanya.

Kepercayaan kepada Koesoema Atmadja tergambar lewat mempertahankannya sebagai Ketua Mahkamah Agung pada masa UUD 1945, masa Republik Indonesia Serikat, dan setelah leburnya RIS menjadi Republik Indonesia (1950).

Menjadi Ketua Mahkamah Agung pada masa mempertahankan kemerdekaan bukan perkara mudah. Selain menghadapi pertarungan politik di dalam negeri, Indonesia juga harus menghadapi agresi militer Belanda, disertai perundingan-perundingan. Selain itu ada tekanan ekonomi, antara lain akibat blokade Belanda. Kort Verslag de Regt tertanggal 5 Januari 1949 menggambarkan Koesoema Atmadja sebagai hakim yang ‘sangat miskin’ dan hanya bisa bertahan ‘dengan menjual harta benda miliknya’. Gaji awal Ketua Mahkamah Agung saat itu adalah 650 rupiah, lalu naik menjadi 700 rupiah pada 1947.

Keikutsertaan Koesoema Atmadja dalam perjalanan awal Republik Indonesia juga dapat dilihat pembangunan hukum. Melalui Surat Keputusan Menteri Kehakiman 4 Februati 1946, Koesoema Atmadja diangkat sebagai anggota Panitia Penyusunan Perundang-Undangan Baru. Termasuk ke dalam Panitia ini adalah Noto Soebagio, Satochid Kartanegara, Tirtaadmadja, Zainal Abidin, dan Sahardjo. Koesoema Atmadja juga berperan sebagai salah seorang penasihat hukum pemerintah dalam Perjanjian Renville dan Konferensi Meja Bundar.

Tags:

Berita Terkait