R Soeleiman E Koesoema Atmadja, Doktor Hukum dari Leiden yang Pro-Republik
Tokoh Hukum Kemerdekaan

R Soeleiman E Koesoema Atmadja, Doktor Hukum dari Leiden yang Pro-Republik

Koesoema Atmadja adalah anggota penasihat hukum pemerintah dalam perundingan-perundingan melawan Belanda. Setelah merdeka, ia ditunjuk menjadi Ketua Mahkamah Agung yang pertama. Dikenang sebagai hakim yang berwibawa.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 6 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Orang yang bekerja di pengadilan, terutama yang bekerja di Mahkamah Agung, umumnya familiar ruangan yang diberi nama Kusuma Atmadja atau Koesoema Atmadja. Nama ruangan itu merujuk pada nama Raden Soeleiman Effendi Koesoema Atmadja, Ketua Mahkamah Agung Indonesia yang pertama. Pada 14 Mei 1965, Pemerintah mengangkat Koesoema Atmadja sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

Pria kelahiran Purwakarta 8 September ini merupakan salah satu tokoh hukum yang berperan besar pada masa-masa menjelang dan sesudah kemerdekaan. Tahun kelahirannya disebut pada 1898, tetapi di buku biografinya tertulis pada 1903. Ia lahir dari keluarga menak Sunda, dari ayah bernama Raden Sutadilaga. Sang ayah pernah menjadi wedana Rengasdengklok. Ia mengenyam pendidikan yang baik, sejak Europese Lagere School (ELS) di Bogor hingga lulus Rechtsschool dan memperoleh gelar doktor dari Universitas Leiden dalam usia muda.

Koesoema Atmadja tercatat sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Selain mengumumkan 12 Menteri pertama, Presiden Soekarno juga menunjuk Koesoema Atmadja sebagai Ketua Mahkamah Agung. Untuk membentuk dan mengurus Mahkamah Agung, Koesoema Atmadja dibantu oleh Satochid Kartanegara dan Gondokusumo. Tugas pertama yang diemban adalah mengambil sumpah Presiden dan Wakil Presiden yang sudah dipilih dan ditetapkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Penunjukan Koesoema Atmadja tak lepas dari pengalamannya di dunia hukum sebelum kemerdekaan. Setelah lulus dari Rechtsschool pada 1919, ia bekerja sebagai pegawai yang diperbantukan di pengadilan (ambtenaar ter beschiking landraad) di Bogor. Ia dan orang Indonesia yang dipekerjakan di pengadilan lazim disebut inlansche rechtskundig, dan gaji pertama setelah diangkat adalah seratus gulden.

Setahun kemudian ia dipindahkan ke Medan sebagai fiscaal griffier landgerecht. Ia kemudian melanjutkan pendidikan hukumnya ke Universitas Leiden, dan berhasil memperoleh gelar doktor ilmu hukum di universitas yang sama pada 1922. Disertasinya, yang ditulis dalam bahasa Belanda, De Mohammadaansche vrome stichtingen in Indie’ mengulas praktik wakaf di Indonesia. Ia berhasil mempertahankan disertasi itu di bawah bimbingan Guru Besar Universitas Leiden yang juga ahli hukum adat Indonesia, C. van Vollenhoven. Ketika menyampaikan pidato ujian terbuka Koesoema Atmadja, van Vollenhoven memuji sang promovendus: kecakapan Soeleiman Effendi sebagai seorang ahli hukum tidak kalah dengan siapapun termasuk sarjana-sarjana bangsa kulit putih.

Soeleiman Effendi Koesoema Atmadja termasuk orang Indonesia awal yang berhasil meraih gelar doktor ilmu hukum dari Universitas Leiden, Belanda. Pulang dari Belanda, ia kembali bekerja di dunia peradilan. Awalnya menjadi pegawai Raad van Justitie (Pengadilan Tinggi) di Jakarta; kemudian pindah ke Indramayu dan menjadi ketua pengadilan (Landraad) di sana pada periode 1925-1927. Sewaktu bertugas sebagai hakim inilah ia menikah Raden Ajeng Nawangsih. Dari perkawinan inilah lahir 14 orang anak, salah satunya pernah menjadi hakim agung mengikuti jejak sang ayah: Z. Asikin Kusuma Atmaja.

Dari Indramayu, Koesoema Atmadja dipindahtugaskan ke Raad van Justitie Padang (1927-1931). Di Padang, nama Koesoema Atmadja disegani. Seperti diceritakan dalam buku Prof. Dr. Sulaiman Effendi Kusumah Atmaja yang ditulis Mochtaruddin Ibrahim (1983/1984), Koesoema Atmadja pernah punya pengalaman tidak mengenakkan dari residen dan ketua Raad van Justitie; ia disebut inlander, sebutan yang saat itu bermakna merendahkan. Mendapat perlakuan demikian, Koesoema Atmadja menarik leher baju ketua Raad van Justitie dan meminta ucapan merendahkan itu tak diulangi lagi. Ketua Raad van Justitie akhirnya meminta maaf. Tetapi ketokohannya juga diakui sebagaimana tercermin dari pengangkatannya sebagai anggota kehormatan Partai Muslim Indonesia, Padang. Ketika masyarakat kota Padang mengajukan protes keras kepada Belanda, Koesoema Atmadja-lah yang diminta untuk menyampaikan protes itu langsung kepada Belanda.

Dari Padang, Koesoema Atmadja pindah tugas ke Raad van Justitie Jakarta, dan bekerja di sini hingga 1938. Selanjutnya ia dipindahkan ke Semarang, dan bertugas di sana hingga pendudukan Jepang.

Hukumonline.com

Raden Soeleiman Effendi Koesoema Atmadja. Ilustrasi: BAS

Hakim pro-republik

Dalam disertasinya, Indonesianis Sebastiaan Pompe, menceritakan bahwa hakim-hakim Indonesia bertindak sebagai pelayan setia negara kolonial dan sering berhadapan dengan gerakan kemerdekaan. Ketika Jepang masuk, hakim-hakim Indonesia adalah minoritas dalam yurisdiksi Landraad yang mengadili perkara-perkara politik bangsa Indonesia. Dari 60 orang hakim Indonesia yang tercatat pada 1942, sebanyak 23 orang adalah lulusan universitas, sisanya lulusan sekolah hukum (Rechtsschool).

Catatan Jepang mengenai orang-orang terkemuka di Jawa memasukkan nama Koesoema Atmadja. Namanya pernah disebut dalam Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang melakukan kegiatan rahasia, dan kemudian dibubarkan pada 1 Juni 1945. Bersama Djoeanda dan M. Enoch, Koesoema Atmadja pernah membentuk partai politik di Jawa Barat yang mendukung cita-sita Repulik: Pagoejoeban Pasoendan. Pompe merujuk pendirian partai ini pada laporan polisi rahasia Batavia pada 30 Desember 1947. Pompe juga menuliskan bahwa mobil Koesoema Atmadja pernahy dicuri oleh pasukan Belanda pada 1946, yang berkembangan menjadi insiden politik.

Ketika konflik politik menguat sejak 1930 hingga 1940-an, tidak satu pun hakim Indonesia yang mengundurkan diri. Walaupun terkadang ada upaya kompromi, realitasnya sebagian dari hakim ini berdiri di kubu kolonial. Setelah kemerdekaan, Pompe mencatat, dari 23 hakim senior Indonesia, hanya 9 orang yang bertahan di kubu Republik pada 1948. Kesembilan hakim senior yang memihak Republik itu adalah Koesoema Atmadja, Wirjono Prodjodikoro, Wirjono Koesoemo, R. Soekardono, Satochid Kartanegara, Soerjotjokro, Tirtaamidjaja, Gondokoesoemo, dan Aroeman. Koesoema Atmadja digambarkan sebagai ‘seorang hakim yang muncul dari revolusi dengan catatan pro-republik tak tercela’, meskipun ada dugaan bahwa kalangan pemuda kurang suka kepadanya.

Kepercayaan kepada Koesoema Atmadja tergambar lewat mempertahankannya sebagai Ketua Mahkamah Agung pada masa UUD 1945, masa Republik Indonesia Serikat, dan setelah leburnya RIS menjadi Republik Indonesia (1950).

Menjadi Ketua Mahkamah Agung pada masa mempertahankan kemerdekaan bukan perkara mudah. Selain menghadapi pertarungan politik di dalam negeri, Indonesia juga harus menghadapi agresi militer Belanda, disertai perundingan-perundingan. Selain itu ada tekanan ekonomi, antara lain akibat blokade Belanda. Kort Verslag de Regt tertanggal 5 Januari 1949 menggambarkan Koesoema Atmadja sebagai hakim yang ‘sangat miskin’ dan hanya bisa bertahan ‘dengan menjual harta benda miliknya’. Gaji awal Ketua Mahkamah Agung saat itu adalah 650 rupiah, lalu naik menjadi 700 rupiah pada 1947.

Keikutsertaan Koesoema Atmadja dalam perjalanan awal Republik Indonesia juga dapat dilihat pembangunan hukum. Melalui Surat Keputusan Menteri Kehakiman 4 Februati 1946, Koesoema Atmadja diangkat sebagai anggota Panitia Penyusunan Perundang-Undangan Baru. Termasuk ke dalam Panitia ini adalah Noto Soebagio, Satochid Kartanegara, Tirtaadmadja, Zainal Abidin, dan Sahardjo. Koesoema Atmadja juga berperan sebagai salah seorang penasihat hukum pemerintah dalam Perjanjian Renville dan Konferensi Meja Bundar.

Untuk mewujudkan Indonesia Merdeka dimaklumi akan disertai perubahan pemerintahan, yang bagaimanapun juga tidak perlu menempuh cara-cara kekerasan dan illegal(Kutipan ini merupakan bagian dari pertimbangan dalam putusan ketika Koesoema Atmadja bertugas di Landraad Batavia, 21 Juli 1934. Dikutip dari Pompe, 2012: 66).

Berwibawa dan Memuji Jenderal Sudirman

Salah satu peristiwa yang insiden yang disebut Pompe sebaga yang paling serius secara politis adalah ketika Mahkamah Agung harus mengadili dan memutus perkara orang-orang besar yang diduga terlibat dalam periswa 3 Juli 1946. Peristiwa ini diduga sebagai upaya menggulingkan pemerintah. Puncaknya adalah penculikan Perdana Menteri Sutan Syahrir.

Pada bulan Juli itu juga Presiden Soekarno menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 1946 tentang Mengadakan Mahkamah Tentara Agung Luar Biasa. Koesoema Atmadja diangkat sebagai ketua. Ia dibantu anggota hakim militer (Muhammad, Suwardi, Sukono Joyopratigno), anggota ahli hukum (Soerjotjokro, Prof. Soepomo, dan Mr Mohamad Roem), dan panitera (Subekti). Memimpin persidangan ini adalah tantangan bagi Koesoema Atmadja karena yang diadili adalah tokoh-tokoh nasional, sebagian adalah temannya sebagai orang berlatar belakang hukum seperti Iwa Kusuma Sumantri, Muhammad Yamin, dan Budiarto Martoatmodjo.

Dalam biografi yang ditulis Muchtaruddin Ibrahim, Koesoema Atmadja digambarkan sebagai hakim yang berwibawa, bersikap tegas kepada para terdakwa, tegas pada saksi, pembela dan penuntut umum. Meskipun yang diadili dan menjadi saksi adalah tokoh-tokoh nasional, Koesoema Atmadja menunjukkan ketegasannya. Panglima Besar Jenderal Soedirman termasuk yang menjadi saksi dalam perkara ini. Meskipun sibuk bergerilya dan punya jabatan tinggi, Soedirman memenuhi panggilan sidang yang dipimpin Koesoema Atmadja. Sang hakim memuji sikap Jenderal Soedirman yang hadir tepat waktu ke persidangan. “Inilah bukti seorang warga negara yang patut pada hukum negara”. Dalam putusannya 27 Mei 1948, pengadilan menjatuhkan hukuman kepada para terdakwa: R.P Sudarsono dan Yamin dihukum empat tahun penjara potong masa tahanan; Ahmad Subardjo, Buntaran Martoatmodjo dihukum 2 tahun; Iwa Kusuma Sumantri 3 tahun, Budiarto Martoatmodjo dan Muhammad Saleh masing-masing 2,5 tahun penjara. Sayuti Melik, Pandu Kartawiguna dan terdakwa lain dinyatakan tidak bersalah. Peristiwa Juli 1946 ini banyak ditulis dalam buku-buku sejarah.

Koesoema Atmadja menjalankan tugasnya dengan baik, dan berusaha bersikap independen ketika berhadapan dengan pemerintah. Ia berusaha membangun martabat para hakim dan kelembagaan Mahkamah Agung. Ia dikabarkan pernah marah besar pada suatu jamuan resmi kenegaraan pada 1951 karena tidak diberi tempat duduk sesuai dengan posisinya sebagai Ketua Mahkamah Agung. Ketika membahas tipikal masing-masing Ketua Mahkamah Agung, Pompe memasukkan Koesoema Atmadja – dan Subekti-- sebagai hakim tangguh, yang berusaha memberlakukan nilai-nilai kelembagaan pengadilan atas lembaga-lembaga negara lain, dan melakukan hal terbaik untuk menegakkan disiplin internal dan moral.

Tags:

Berita Terkait