Ragam Hambatan Penerapan OSS RBA di Daerah
Terbaru

Ragam Hambatan Penerapan OSS RBA di Daerah

Peraturan-peraturan pemerintah sebagai turunan UU Cipta Kerja belum tampak solid dalam mendukung percepatan penerapan Online Single Submission berbasis risiko (OSS RBA) di daerah.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Sistem perizinan berusaha berbasis risiko atau risk-based licensing approach (RBA) telah diterapkan sejak diresmikannya Undang-Undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK). Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Usaha Berbasis Risiko, sistem elektronik ini diharapkan dapat menyederhanakan dan mempercepat proses perizinan usaha.

Namun, seiring penerapannya ternyata masih terdapat dijumpai sejumlah hambatan. Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menilai implementasi UU Cipta Kerja di daerah masih menghadapi hambatan pada dimensi regulasi, kelembagaan, dan digitalisasi (platform online).

“Peraturan-peraturan pemerintah sebagai turunan UU Cipta Kerja belum tampak solid dalam mendukung percepatan penerapan Online Single Submission berbasis risiko (OSS RBA) di daerah” ungkap Direktur Eksekutif KPPOD, Armand Suparman, dalam acara “Sengkarut Implementasi Perizinan Berusaha Berbasis Risiko di Daerah (Hasil Kajian Persiapan dan Tantangan Penerapan OSS RBA di Daerah)” Selasa (23/11).

Armand mencontohkan Peraturan Pemerintah 5/2021 tentang Perizinan Berusaha Berbasis Risiko belum mengatur batasan dalam penerapan diskresi oleh Pemda dalam penerapan OSS RBA, masih terdapat jenis perizinan non-KBLI, non-berusaha non-KBLI, dan nonperizinan yang belum diatur dan Lampiran PP 05/2021 ini tidak mengatur jelas terkait syarat dan jangka waktu perizinan. (Baca: Pelaku Usaha Temukan Sejumlah Kendala Saat Mengurus Izin di OSS Berbasis Risiko)

Dia mengatakan persoalan regulasi pusat di atas berimbas pada bervariasinya respons kebijakan dan kelembagaan daerah dalam menerapkan OSS RBA. “Daerah-daerah yang masih menyusun atau merevisi Perda atau Peraturan Kepala Daerah, bersandar pada kebijakan lama sehingga business process dan desain kewenangan antara dinas (OPD) belum sepenuhnya mengikuti alur perizinan berbasis risiko,” tutur Armand.

Sedangkan pada dimensi digitalisasi, kendala utama adalah OSS RBA belum terintegrasi dengan platform layanan K/L dan Pemda. “SIMBG, Gistaru, Amdalnet masih berproses secara terpisah dengan OSS RBA sehingga menciptakan kebingungan atau kegamangan di daerah, baik untuk pemda maupun untuk pelaku usaha,” jelasnya.

Kemudian, KPPOD menemukan belum semua daerah memiliki Peraturan Kepala Daerah tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan RDTR berbentuk digital. Kondisi ini berpotensi mengganggu keberlanjutan lingkungan, sosial, dan tata kelola atau bisnis proses perizinan berusaha.

Tags:

Berita Terkait