Raih Gelar Doctor of Law, Arsul Kritik Setengah Hati Penerapan UU Terorisme di Papua
Terbaru

Raih Gelar Doctor of Law, Arsul Kritik Setengah Hati Penerapan UU Terorisme di Papua

Kritik dimulai dengan penulisan sejarah terorisme di Indonesia, terjadi perbedaan perlakuan dan proses hukum atas tindak pidana yang sama-sama memenuhi unsur terorisme, hingga studi kasus pasca perjanjian Helsinki dan aksi teror KKB di Papua.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Wakil Ketua MPR Arsul Sani resmi menyandang gelar  doctor  of law. Foto: Istimewa
Wakil Ketua MPR Arsul Sani resmi menyandang gelar doctor of law. Foto: Istimewa

‘Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China’. Peribahasa itu seperti menjadi penyamangat bagi penuntut ilmu pendidikan sejauh apapun, seperti halnya yang dilakukan Arsul Sani. Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) itu akhirnya menyabet gelar doktor ilmu hukum. Tak tanggung-tanggung, gelar doktor ilmu hukum diperolehnya dengan predikat amat memuaskan alias cum laude dari Collegium Humanum - Warsaw Management University, Polandia.

Gelar doktor hukum (doctor of laws) menunjukan kegigihannya dalam menimba ilmu di negara orang. Menariknya, dalam sidang disertasinya berjudul ‘Re-examining the considerations of national security and human rights protection in counterterrorism legal policy: a case study on Indonesia post-Bali bombings’ mampu dipertahankan dengan hasil memuaskan.

Dalam disertasinya, Arsul mengkritisi sejumlah studi sebelumnya tentang sejarah terorisme di Indonesia dan perbedaan proses hukum dalam kasus-kasus pidana yang memenuhi unsur tindak pidana terorisme. Arsul paham betul soal sejarah terorisme di Indonesia. Apalagi sebagai bagian dari anggota Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme 2017 silam, Arsul memahami soal perkembangan jaringan terorisme di tanah air.

Baca juga:

Lantas Arsul mengkritik tentang penulisan sejarah terorisme di Indonesia terkait dengan sejumlah studi yang menyebut awal terorisme dikaitkan dengan pemberontakan Darul Islam (DI)/Tentara Islam Indonesia (TII) pimpinan Kartosuwiryo di Jawa Barat, 1949 silam. Padahal perbuatan teror yang kemudian masuk dalam pengertian terorisme telah dimulai menjelang pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) Madiun oleh pengikut atau pendukung PKI yang kemudian melahirkan pemberontakan PKI Madiun tahun 1948.

Menurut pria yang juga duduk sebagai anggota Komisi III DPR itu, seharusnya sejarah terorisme di Indonesia dicatat dengan perbuatan teror oleh pengikut PKI, baru diikuti oleh pengikut DI/TII yang terjadi setelah pemberontakan PKI Madiun. Sementara bahasan kritis kedua yang menjadi objek riset Arsul soal sejumlah kasus hukum.

“Di mana terjadi perbedaan perlakuan dan proses hukum atas tindak pidana yang sama-sama memenuhi unsur terorisme,” ujarnya melalui keterangannya, Senin (6/3/2023).

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait