Raih Gelar Doktor, Dosen Binus Kritik Pasal Penyebaran Berita Bohong
Terbaru

Raih Gelar Doktor, Dosen Binus Kritik Pasal Penyebaran Berita Bohong

Penerapan UU No. 1 Tahun 1946 tidak sesuai dengan prinsip dan batasan kriminalisasi.

Oleh:
Willa Wahyuni
Bacaan 3 Menit
Vidya Prahassacitta (kemeja biru) berhasil mempertahankan disertasi tentang penyebaran berita bohong di FH UI, Sabru (14/1/2023). Foto: WILLA
Vidya Prahassacitta (kemeja biru) berhasil mempertahankan disertasi tentang penyebaran berita bohong di FH UI, Sabru (14/1/2023). Foto: WILLA

Vidya Prahassacitta, dosen Departemen Hukum Bisnis Universitas Bina Nusantara Jakarta, berhasil meraih gelar doktor ilmu hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia setelah mempertahankan disertasi mengenai aspek hukum pidana penyebaran berita bohong. Di bawah bimbingan promotor Harkristuti Harkrisnowo, Vidya mempertahankan disertasi berjudul “Kebijakan Hukum Pidana Mengenai Penyebaran Berita Bohong Melalui Internet di Indonesia”.

Dalam sidang terbuka yang berlangsung Sabtu (14/1/2023), Vidya mengungkapkan bahwa dalam kasus-kasus penyebaran berita bohong selama ini aparat penegak hukum menggunakan Pasal 14 dan Pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Kedua pasal ini merumuskan perbuatan dan ancaman pidana bagi siapapun yang menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, kabar yang tidak pasti, atau kabar yang tidak lengkap ataupun berlebihan. Vidya meneliti putusan pengadilan yang relevan selama periode 2018-2021 dan mewawancarai sejumlah informan kunci.

Berdasarkan riset tersebut, Vidya menemukan adanya ketidaksesuaian antara penerapan dengan prinsip-prinsip dalam hukum pidana sehingga kriminalisasi terhadap mereka yang didakwa menyebarkan berita bohong tidak sesuai dengan tujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat dan melanggar batas-batas kebebasan ekspresi individu. Ketidaksesuaian itu dapat dilihat, misalnya, dalam hal perilaku yang salah (wrongfulness) dari penyebaran berita bohong adalah ketika pelaku menyebarkan berita bohong bukan pada adanya bahaya berita bohong terhadap kepentingan umum. Selain itu, bahaya yang didalilkan tidak jelas dan nyata. Oleh karena itu, Vidya berkesimpulan penerapan tindak pidana penyebaran berita bohong sebagaimana diatur dalam Pasal 14 dan pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946 tidak sesuai dengan prinsip dan batasan kriminalisasi.

“Fokus disertasi saya ini mengenai informasi tidak benar atau berita bohong. Dalam UU No. 1 Tahun 1946, berita bohong itu tidak identik dengan pers, tetapi berita bohong bisa untuk semuanya, Terlebih yang saya kritisi adalah Pasal 14 dan Pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946 yang di dalam KUHP baru itu Pasal 263 dan Pasal 264 KUHP,” kata Vidya kepada  hukumonline.

Lewat disertasinya, Vidya memang melayangkan kritik atas penerapan Pasal 14 dan Pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946, dan kritik atas perumusan tindak pidana sejenis dalam Pasal 263 dan Pasal 264 KUHP baru (UU No. 1 Tahun 2023). Sebelum KUHP baru berlaku tiga tahun mendatang, bagaimanapun, aparat penegak hukum masih tetap dapat menggunakan Pasal 14 dan Pasal 15 dimaksud. Adakalanya, Vidya mencatat, kriminalisasi dilakukan terhadap orang yang kurang paham kaidah penyebaran informasi. Meskipun terdakwa hanya dihukum penjara dalam hitungan bulan, tetapi penerapan hukum pidana semacam itu perlu diperhatikan. “Tindak pidana ini (seharusnya) hanya untuk yang serius saja, yang memang disengaja atau yang direkayasa. Jadi, tidak ada memidana orang yang tidak mengetahui informasi yang ia sebarkan dan dampak apa yang ditimbulkan,” jelasnya kepada hukumonline.

Secara umum, Vidya menilai ada kelemahan dalam perumusan dan penerapan pasal pidana penyebaran berita bohong. Pertama, perumusan tindak pidana yang luas dan tidak jelas menyebabkan kesulitan untuk membedakan dan mengartikan unsur-unsur tindak pidana penyebaran berita bohong. Kedua, perumusan tindak pidana tidak sesuai dengan batasan kriminalisasi yang harus didasarkan pada adanya kesalahan dan bahaya yang serius. Ketiga, sanksi pidana hanya berupa pidana penjara, tetapi tidak ada sanksi pidana atau prosedur untuk peredaran berita bohong yang telah dinyatakan pengadilan melanggar undang-undang. Vidya berharap ada perbaikan perumusan, dan pencantuman pidana tambahan. Pidana tambahan yang diusulkan ibu dua anak ini adalah pidana perampasan akun yang dipergunakan untuk menyebarkan berita bohong.

Selain perbaikan rumusan dalam KUHP, Vidya mengusulkan revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Perlu ada kewajiban dan tanggung jawab penyelenggara sistem elektronik untuk mencegah penyebaran berita bohong. Tetapi ketentuan penyebaran informasi elektronik yang mengandung berita bohong perlu dipertimbangkan untuk dihapuskan agar tidak tumpang tindih dengan ketentuan dalam KUHP. Terakhir, Vidya berharap disertasinya bisa menjadi acuan bagi aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus penyebaran berita bohong di Indonesia.

Promotor Prof. Harkristuti Harkrisnowo dan anggota tim penguji Prof. Pujiyono memuji disertasi Vidya karena sangat aktual di tengah perkembangan penggunaan internet dan perangkat media sosial. Indonesia termasuk negara tertinggi pengguna internet, sehingga potensi penyebaran berita bohong sangat besar.

Tags: