Raih Gelar Doktor Hukum dengan Cumlaude, Advokat Ike Farida Gagas Outsourcing yang Berkeadilan
Utama

Raih Gelar Doktor Hukum dengan Cumlaude, Advokat Ike Farida Gagas Outsourcing yang Berkeadilan

Untuk membangun sistem alih daya yang berkeadilan, perlu ada Undang-Undang tersendiri tentang outsourcing.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Suasana sidang ujian terbuka disertasi Ike Farida di kampus UI Depok, Sabtu (09/12). Foto: MYS
Suasana sidang ujian terbuka disertasi Ike Farida di kampus UI Depok, Sabtu (09/12). Foto: MYS

Ike Farida berhasil mempertahankan disertasi di hadapan sidang akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Sabtu (09/12). Managing Partner Farida Law Office itu berhasil mempertahankan disertasi ‘Membangun Outsourcing yang Berkadilan Pascaputusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011’ dengan memperoleh hasil cumlaude. Dengan hasil itu, Ike menjadi doktor ke-244 lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Disertasi doktor Ike dinilai merupakan kajian yang bagus dan isinya memberikan kontribusi bagi penataan regulasi ketenagakerjaan di Indonesia, khususnya outsourcing.

 

Outsourcing atau alih daya adalah pendelegasian operasi atau pelaksanaan suatu bagian dari proses produksi kepada pihak lain di luar perusahaan. Melalui pendelegasian, suatu pekerjaan yang semula dilakukan oleh perusahaan dialihkan kepada pihak ketiga. Di Indonesia, outsourcing diakui dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan telah dibuat aturan teknisnya antara lain lewat Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) No. 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain.

 

Dalam kesimpulannya, Ike Farida menyatakan pengaturan dan praktik outsourcing di Indonesia belum memberikan rasa keadilan bagi para pelakunya: pekerja, vendor (perusahaan outsourcing), dan perusahaan pengguna (user). Perundang-undangan yang berlaku saat ini belum memuat penjabaran menyeluruh tentang hak dan kewajiban para pelaku alih daya secara seimbang.

 

Persoalan keadilan bagi para pihak dalam outsourcing inilah yang menjadi pokok permasalahan yang banyak ditanyakan para penguji kepada promovendus. Termasuk dari mantan hakim konstitusi Maruarar Siahaan, dosen FH UI Fatmawati, Tri Hayati, Ratih Lestarini, serta pakar hukum ketenagakerjaan Prof. Abdul Rachman Budiono dan Prof. Payaman J Simanjuntak.  Dalam praktik, masalah keadilan juga menjadi perhatian para pekerja melakukan aksi demontrasi. Isu outsourcing nyaris selalu dibawa.

 

Menurut Ike, putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011 sebenarnya sudah memberikan keadilan kepada para pihak, khususnya pekerja alih daya, tetapi putusan itu hanya menyinggung sebagian dari masalah yang dihadapi pekerja outsourcing. Putusan hanya hanya menyelesaikan persoalan kelangsungan hubungan kerja pekerja PKWT dan hak-hak pekerja pada saat hubungan kerja berakhir. “Putusan MK sudah lebih memberikan keadilan,” ujarnya.

 

Putusan yang dimaksud Ike adalah ‘jawaban’ Mahkamah Konstitusi atas permohonan uji materi Pasal 59 (tentang PKWT) dan Pasal 64-66 (tentang alih daya) UU Ketenagakerjaan yang diajukan Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2ML). Dalam putusannya, Mahkamah menyatakan Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf b UU Ketenagakerjaan bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945 (conditionally constitutional). Mahkamah juga menyatakan secara sosiologis outsourcing belum bisa dihapus.

 

Baca juga:

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait