Rapat Konsultasi Presiden-DPR Tak Bahas Perpu Pemberantasan Korupsi
Utama

Rapat Konsultasi Presiden-DPR Tak Bahas Perpu Pemberantasan Korupsi

Rapat Konsultasi antara Presiden dan DPR tidak membahas Perpu Percepatan Pemberantasan Korupsi. Disebutkan, pemerintah belum yakin akan menerbitkan Perpu.

Oleh:
Nay/Amr/CR
Bacaan 2 Menit
Rapat Konsultasi Presiden-DPR Tak Bahas Perpu Pemberantasan Korupsi
Hukumonline

Pendapat berbeda disampaikan Ketua MPR Hidayat Nurwahid. Ia menyambut baik rencana lahirnya Perpu Percepatan Pemberantasan Korupsi. Menurut Hidayat, memang telah ada unsur yang luar biasa mendesak untuk segera dikeluarkannya Perpu.

Alasannya, dampak negatif dari korupsi sudah sangat luar biasa. "Bahkan saya sering sebut korupsi itu setara saja dengan terorisme. Kalau terorisme ada Perpu anti terorisme, saya yakin diperlukan Perpu antikorupsi, tukas Hidayat.

Hadirnya Perpu Korupsi, tutur Hidayat mengindikasikan pemahaman bahwa korupsi merupakan suatu extra ordinary crime, karena dampaknya memang luar biasa.  Ia menggarisbawahi, "Korupsi ada dimana-mana dan ibarat kanker, stadiumnya sudah stadium empat".

Rancangan Perpu

Dalam Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) terlihat betapa Perpu tersebut akan mengubah berbagai ketentuan yang ada dalam Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) maupun UU No 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.  

Rencananya, Perpu akan berlaku bagi tindak pidana korupsi luar biasa, yaitu tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian negara sebesar Rp50 miliar. Artinya, tindak pidana korupsi dengan nilai dibawah itu, tidak tunduk pada ketentuan Perpu.

Dalam Rancangan Perpu, ancaman pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi diperberat. Semua tindak pidana korupsi yang tercantum pada pasal 2, 3, 5, 6,7,8,12 dan 13 UU No 20 Tahun 2001, yang nilainya Rp 50 miliar diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana paling lama 20 tahun dan paling sedikit lima tahun serta denda paling banyak senilai uang yang dikorupsi dan paling sedikit Rp1 miliar.

Yang juga menarik, dalam Rancangan Perpu tersebut, ketentuan mengenai daluwarsa yang diatur dalam pasal 78 Bab VIII Buku I KUHP dinyatakan tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi dengan kerugian diatas Rp50 miliar.

Soal gratifikasi juga diatur dalam Perpu. Disebutkan bahwa gratifikasi dianggap sebagai suap dan bagi gratifikasi yang nilainya Rp10 juta atau lebih, penerima gratifikasi wajib membuktikan bahwa gratifikasi tersebut bukan berupa suap. Bagi yang nilainya kurang dari Rp10 juta, penuntut umum yang wajib membuktikan bahwa gratifikasi adalah suap.

Ancaman pidana bagi para pegawai negeri atau penyelenggara negara itu adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun dan paling singkat empat tahun dan pidana denda paling banyak Rp1 miliar dan paling sedikit Rp200 juta.

Diatur pula bahwa penyidik dapat melakukan penggeledahan, penyitaan dan penyadapan terhadap tersangka tanpa perlu izin dari ketua pengadilan negeri. Penangkapan dan penahanan terhadap tersangka juga tidak memerlukan persetujuan atau izin dari atasan atau pejabat yang oleh peraturan perundang-undangan diwajibkan meminta izin terlebih dahulu.

Soal penahanan, bagi tersangka pelaku korupsi diatas Rp50 miliar, tidak berlaku tahanan kota dan tahanan rumah. Tersangka harus sudah ditahan di Rutan paling lambat 24 jam setelah diduga keras melakukan korupsi. Bukan itu saja, penangguhan penahanan tidak berlaku bagi mereka.

Pada saat tersangka ditangkap dan ditahan, seluruh harta kekayaannya untuk sementara disita oleh negara sebesar jumlah kerugian negara yang disangkakan. Paspor tersangka juga akan dicabut sementara sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Jika tersangka adalah anggota TNI, maka Jaksa Agung dan KPK akan membentuk tim penyidik. Tim penyidik terdiri dari jaksa, penyidik KPK dan Polisi Militer.

Rapat Konsultasi antara Presiden dan DPR hari ini, Selasa (18/1) samasekali tidak membahas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) mengenai Percepatan Pemberantasan Korupsi. Padahal, diperoleh informasi presiden akan berkonsultasi dengan DPR soal Perpu pada Senin (17/1) kemarin. Sebelumnya, Ketua Komisi III A. Teras Narang juga menyatakan akan bertanya pada presiden mengenai Perpu tersebut.

Menurut anggota DPR dari Fraksi Golkar, Akil Mochtar, pemerintah belum memaparkan soal Perpu dalam rapat konsultasi hari ini (18/1), karena hal itu masih akan digodok lebih lanjut. "Apakah dalam bentuk Perpu, perubahan undang-undang atau Keppres, ia (pemerintah) belum firm betul, sehingga tidak masuk dalam materi yang dibahas, ungkap Akil.

Bahkan Teras menyatakan dalam pembicaran secara informal, pemerintah menyatakan sedang berpikir-pikir lagi untuk menerbitkan Perpu.

Secara tegas, Teras  menyatakan ketidaksetujuannya terhadap rencana diterbitkannya Perpu tersebut.  Menurut Teras, tidak ada unsur kegentingan memaksa yang bisa menjadi alasan dikeluarkannya Perpu. "Kita akan tanyakan di rapat konsultasi, apa kegentingan yang memaksa sehingga diterbitkannya Perpu," ujar politisi dari PDI Perjuangan itu.

Apalagi, lanjut Teras, jika ternyata alasan diterbitkannya Perpu hanya untuk memotong proses amandemen undang-undang pemberantasan korupsi, sehingga menjadi lebih cepat.

Tags: