Refleksi 20 Tahun Tragedi 9/11 bagi Hukum Penerbangan Nasional
Kolom

Refleksi 20 Tahun Tragedi 9/11 bagi Hukum Penerbangan Nasional

​​​​​​​Sudah selayaknya Pemerintah Indonesia mempertimbangkan ratifikasi the Beijing Convention of 2010 dan the Beijing Protocol of 2010 dengan melakukan pengkajian mendalam akan urgensi serta kepentingan nasional.

Subjek hukum pribadi perseorangan dan badan hukum dapat dikenakan tanggung jawab baik perdata, pidana, maupun administratif di negara badan hukum didirikan. Prinsip aut dedere aut judicare dipertahankan pada the Beijing Convention of 2010. Pelaku tindak pidana internasional dapat dipidana oleh negara berdasarkan locus delicti atau diekstradiksi kepada negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili pelaku.

Refleksi Hukum Positif Indonesia

Indonesia telah meratifikasi tiga konvensi seputar keamanan penerbangan, yakni the Tokyo Convention of 1963, the Hague Convention of 1970, dan the Montreal Convention of 1971, melalui Undang-Undang No. 2 Tahun 1976. Sebagai tindak lanjut, Undang-Undang No. 4 Tahun 1976 mengubah dan menambahkan beberapa pasal terkait pidana penerbangan pada KUHP. Seiring meningkatnya terorisme di Indonesia kisaran tahun 2000, Perppu No. 1 Tahun 2002 junctoUndang-Undang No. 15 Tahun 2003 mencantumkan seluruh tindak pidana penerbangan pada KUHP sebagai delik terorisme; termasuk pada Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 yang mengamandemen Undang-Undang No. 15 Tahun 2003.

Dinamika pidana penerbangan yang telah berkembang pesat, terutama pasca peristiwa 9/11, kini berhadapan dengan konvensi era 1970an – tepatnya setengah abad lalu – yang diratifikasi Indonesia. Sudah selayaknya Pemerintah Indonesia mempertimbangkan ratifikasi the Beijing Convention of 2010 dan the Beijing Protocol of 2010 dengan melakukan pengkajian mendalam akan urgensi serta kepentingan nasional. Berhati-hati perlu, tetapi jangan terlalu skeptis menghadapi dinamika hukum internasional yang berkembang pesat. Dunia internasional memandang keterlibatan Indonesia melalui hitungan ratifikasi konvensi, bukan sejauh mana konsep atau ketentuan konvensi internasional diadopsi melalui hukum nasional tanpa meratifikasinya.

Pekerjaan rumah lain ialah diperlukan pengkajian terhadap disparitas ancaman pidana antara Pasal 437 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Pasal 479 p KUHP, dan Pasal 8 huruf p Perpu No. 1 Tahun 2002 juncto Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 juncto Undang-Undang No. 5 Tahun 2018. Terdapat perbedaan jauh akan ancaman suatu tindak pidana yang sama, yakni terkait setiap orang yang menyampaikan informasi palsu yang membahayakan keselamatan (safety) penerbangan (Bambang Widarto: Tinjauan Hukum Udara Sebagai Pengantar, 2018, hal. 257-258). Asas kepastian hukum perlu hadir.

Selain itu, tindak pidana pembajakan pesawat udara sebagaimana termuat dalam Pasal 479 j KUHP dan Pasal 8 huruf j Perpu No. 1 Tahun 2002 juncto Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2013 masih mengacu kepada Pasal 1 the Hague Convention of 1970. Perlu dipertimbangkan penyempurnaan menjadi “setiap orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman dalam bentuk lain, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pengendalian pesawat udara dalam dinas”. Hal ini akan memperluas cakupan hukum terkait pembajakan pesawat, dengan skenario dilakukan sebelum (saat pesawat disiapkan), dalam penerbangan, hingga setelah pendaratan terjadi sebagaimana menjadi pembaruan dalam the Beijing Protocol of 2010.

Akhir kata, momentum perancangan KUHP (RKUHP) serta revisi Undang-Undang Terorisme suatu saat nanti perlu mengikuti perkembangan pidana penerbangan sebagaimana dimotori ICAO pasca tragedi September. Tidak luput, pasal-pasal dalam instrumen hukum nasional yang saling bertentangan perlu segera diselesaikan. Ke depannya, perkembangan teknologi serta pemanfaatan pesawat nirawak (UAV atau drone) di tanah air turut menentukan sejauh mana hukum pidana penerbangan nasional berkembang. Pembaruan hukum diperlukan agar hukum pidana penerbangan hidup dan diterima perkembangan masa.

*)Bambang Widarto adalah Dosen Spesialisasi Hukum Udara dan Ruang Angkasa Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, dan Sekolah Tinggi Hukum Militer. Komisioner Komisi Kejaksaan Republik Indonesia. Sebelumnya berkarya sebagai Kasikumdarakasa Diskumau TNI Angkatan Udara dan Kabag Bankum Rokum di Kementerian Pertahanan. Ridha Aditya Nugraha adalah Air and Space Law Studies, Universitas Prasetiya Mulya. Anggota European Air Law Association (EALA).

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait