*Catatan ini dimulai sejak Kongres Nasional III Kongres Advokat Indonesia (KAI) pada akhir April 2019 di Surabaya.
Menyambut peradaban baru dunia advokat, para pimpinan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) KAI berkomitmen untuk menerapkan database KAI berbasis elektronik (e-lawyer), perumusan ujian advokat berbasis komputer, peningkatan kapasitas anggota dengan program pendidikan lanjutan, dan penyempurnaan rumusan program kompetensi advokat. Ini sesuai dengan PMK No. 101/PUU-VII/2009 Jo. PMK No. 112/PUU-XII/2014 dan PMK No. 36/PUU-XIII/2015, yang menyatakan bahwa KAI sebagai organisasi advokat berhak menjalankan kewenangan-kewenangan organisasi advokat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Peningkatan Kompetensi Advokat
Pasal 3 ayat 2 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyebutkan, advokat yang sudah diangkat dapat menjalankan praktiknya dengan mengkhususkan diri pada bidang tertentu. Ketentuan pasal ini menjadi salah satu perhatian penting, sehingga DPP KAI akan melakukan upaya penyempurnaan penyelenggaraan pendidikan lanjutan bagi anggota dan penyelenggaraan program kompetensi advokat (Certified Indonesia Lawyer). Bagaimanapun, organisasi advokat yang hebat bukanlah organisasi yang sibuk bertikai dengan sesamanya, melainkan ia yang sibuk memikirkan peningkatan kompetensi para anggotanya.
KAI menyadari, tidak semua advokat memiliki kompetensi atas semua permasalahan hukum yang ada. Hal yang sama juga berlaku atas proses pelaksanaan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang membutuhkan pembaruan kurikulum dan metode. Namun, bukan berarti ‘kembali pada rezim wadah tunggal’ adalah jawaban mutlaknya. Apalagi, pemerintah melalui Menristekdikti juga menganggap PKPA yang diselenggarakan organisasi advokat tidak menjamin kualitas advokat, sehingga kemudian menerbitkan Permenristekdikti No. 5 Tahun 2019 Tentang Program Profesi Advokat. Jadi, alih-alih khawatir dan menganggapnya sebagai masalah, rezim multiorganisasi advokat seharusnya menjadi tantangan dan peluang untuk serius melakukan penguatan organisasi, program, dan layanan terhadap anggota serta masyarakat.
Lebih lanjut, Adv. Tjoetjoe Hernanto Sandjaja, dkk, juga telah mengajukan Permohonan Keberatan di Mahkamah Agung teregistrasi dengan nomor perkara: 30 P/HUM/2019. Upaya keberatan ini lebih kepada menjaga independensi dan kemadirian organisasi advokat dalam menjalankan kewenangannya melaksanakan PKPA sebagaimana yang diberikan UU Advokat. Kendati demikian, KAI sangat terbuka untuk berkolaborasi dengan Kemenristekdikti dalam merumuskan kurikulum dan metode PKPA.
Bagaimanapun, KAI meyakini—upaya peningkatan kapasitas anggota ini tidak hanya bermanfaat bagi KAI, melainkan masyarakat dalam memenuhi hak dasar warga negara atas layanan hukum yang terjamin dan terpenuhi. Oleh karena itu, KAI kini menjadi satu-satunya organisasi advokat yang memiliki standar khusus bidang advokat yang diakui dalam Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Kementerian Ketenagakerjaan RI Nomor Kep : 58. LATTAS/III/2016; serta lisensi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi untuk Lembaga Sertifikasi Profesi Advokat melalui Keputusan Ketua Badan Nasional Sertifikasi Profesi Nomor Kep.0562/BNSP/V/2016. Walaupun dalam perjalanannya, Standar Bidang Advokat dan Lembaga Sertifikasi Profesi Advokat menuai protes bahkan gugatan dari beberapa kalangan advokat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, tetapi upaya-upaya tersebut akhirnya kandas.
KAI mendorong adanya Pusdiklat Advokat dan Pendidikan bersama APH;
Pusat pendidikan dan pelatihan advokat menjadi salah satu perhatian besar KAI untuk meningkatkan kapasitas advokat sebagai penegak hukum. Hal ini senada dengan apa yang disebutkan dalam pasal 5 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yakni: advokat adalah penegak hukum. Jika demikian, sudah sepantasnya pemerintah menyediakan fasilitas pendidikan advokat sebagaimana negara menyiapkan fasilitas dan anggaran untuk pendidikan dan peningkatan kapasitas penegak hukum lain seperti polisi, jaksa, dan hakim.