Refleksi KAI Tahun 2019: Menuju Sistem Multibar demi Profesionalitas Advokat Indonesia
Berita

Refleksi KAI Tahun 2019: Menuju Sistem Multibar demi Profesionalitas Advokat Indonesia

KAI sebagai organisasi advokat akan selalu berada di garda terdepan dalam menjawab tuntutan perubahan hukum dan profesionalitas advokat Indonesia. Pilihan multibar adalah sikap politik KAI untuk memperluas akses masyarakat untuk mendapatkan keadilan.

Oleh:
CT-CAT
Bacaan 2 Menit

 

Sayangnya, hanya karena alasan yang tidak elegan, advokat justru menjadi salah satu isu yang harus diatur dalam RUKUHP. Misalnya, berdasarkan pada segelintir fakta perilaku pribadi seperti kekerasan di ruang persidangan, tidak lama seluruh advokat dirasa harus diancam dengan delik pidana contempt of court. Seluruh advokat bahkan dianggap berpotensi dapat menyerang kewibawaan peradilan, sementara advokat salah  bagian dari sistem peradilan.

 

Analogi ‘hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas’ tidak hanya sekali-dua kali terjadi di Indonesia. Telah berkali-kali, keadilan menjadi bahan permainan pembesar dan pengusaha. Cara berhukum telah didominasi oleh kompromi antara penegak hukum, hukum, dan pencari keadilan. Bahkan, hukum menjadi transaksi yang mengakomodasi kepentingan di antara para pihak yang melakukan transaksi.

 

Memuat pemahaman keberadaan pertukaran kepentingan antar pihak, pacta sunt servanda yang mengalami transliterasi negatif juga kerap menjadi sarana untuk mengesampingkan hukum. Kompromi penegakan hukum menempatkan hukum sebagai komoditas yang mempunyai nilai tukar yang akan dikonversi dengan kepentingan. Pada praktiknya, advokat masih ditempatkan pada posisi yang inferior meski perannya dalam menggali keadilan sangat penting.

 

Lahirnya SEMA No. 1 Tahun 1967 dan SEMA No. 8 tahun 1984 membuktikan masih adanya kekeliruan dan kesalahan-kesalahan baik perkara perdata maupun pidana dalam perkara-perkara yang dimintakan banding maupun kasasi pada Mahkamah Agung. Dengan cara yang demikian, Pengadilan Tinggi dapat melakukan pengawasan dan memberikan bimbingan langsung kepada hakim, tetapi masih sebatas pada eksaminasi internal dan bukan dimaksudkan sebagai kontrol publik yang dikenal dengan istilah ‘Anotasi Hukum’ (Legal Anotation). Baik eksaminasi maupun anotasi hanya untuk mengetahui kelemahan sebuah putusan.

 

Hal tersebut sangat diperlukan demi melumpuhkan adagium yang dikenal sebagai sindrom hukum yaitu Sumum Ius Summa Inniora (hukum yang tertinggi adalah ketidakadilan yang terbesar). Apabila para penegak  hukum  hanya  menerapkan  hukum saja tanpa mempertimbangkan keadilan yaitu moral justice, sosial justice, dan khususnya legal justice oleh karena itu Adagium, Lex Dura Sed Tamend Scripta (keadilan, meski kejam namun selalu didamba) harus selalu dibarengi dengan Suum Quike Tri Buera (keadilan diberikan kepada tiap orang apa yang menjadi  haknya).

 

Prof. Dr. Gayus Lumbun mengatakan, sebagai wujud melaksanakan ketentuan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, Mahkamah Agung (MA) mendukung rencana pendirian Badan Eksaminasi Putusan Pengadilan yang kini digagas oleh rekan-rekan yang berasal dari Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI) sekaligus sebagai praktisi (Advokat) yang tergabung dalam organisasi KAI. Tujuannya, untuk mengontrol putusan hakim dalam usaha mendorong putusan hakim yang excellent, yang didasarkan atas pertimbangan norma hukum yang dipercaya masyarakat. Bisa jadi akan diselenggarakan majelis eksaminasi publik, yang mana putusan hakim tidak bisa dipermasalahkan, tetapi hakimnya yang harus dipersoalkan. Eksaminasi putusan tidak membatalkan putusan hakim, tapi hanya mempersoalkan hakim-hakim yang tidak kredibel dan tidak berkualitas. Demikian juga atas pengalaman-pengalaman anggota KAI dalam menjalankan praktik di pengadilan. Seperti halnya, sering merasakan adanya hal-hal yang tidak memenuhi nalar keadilan, meskipun sangat dipahami ada upaya hukum yang bisa dilakukan sebagaimana ketentuan-ketentuan hukum acara dalam setiap peradilan.

 

Hal lain yang juga menjadi perhatian penting bagi KAI adalah belum adanya pemahaman yang sama antar penegak hukum terkait dengan Hak Immunitas yang menjadi hak seorang Advokat dalam menjalankan profesinya. DPP KAI mencatat pada tahun 2019 penyidik masih melakukan pemanggilan terhadap advokat tidak melalui organisasi advokat tempat advokat tersebut bernaung. Para advokat yang menjalankan profesinya dikaitkan dan diidentikkan dengan kliennya. Misalnya, dilaporkan pencemaran nama baik atas konferensi pers yang dilakukan, diperik\sa terkait dengan pengembangan perkara tindak pidana pencucian uang, diperiksa karena dilaporkan memasukkan keterangan palsu pada proses-proses peradilan, dan yang paling sering diperiksa karena adanya laporan penipuan dan atau penggelapan oleh klien sendiri.

Tags:

Berita Terkait