Reformasi Hukum, Mau ke Mana?
Kolom

Reformasi Hukum, Mau ke Mana?

Lewat 22 tahun Reformasi di Indonesia, masih banyak permasalahan reformasi hukum yang belum terjawab.

Bacaan 2 Menit

Dalam reformasi hukum di Indonesia, tidak pernah ada suatu persimpangan berupa pilihan jelas jalan ke kiri atau ke kanan. Reformasi hukum di Indonesia sejak awal selalu berada dalam persimpangan yang rumit. Perumpamaan padang pasir mungkin lebih tepat untuk menggambarkan lapangan arena reformasi hukum, bukan jalan raya dengan jalur yang teduh dan pilihan persimpangan yang terlihat gamblang.

Untuk itulah kita perlu adanya tonggak-tonggak penanda untuk membaca situasi reformasi hukum di Indonesia. KPK adalah tonggak penting capaian reformasi 1998. Karena itu, dalam rangka refleksi 22 tahun reformasi hukum, tak berlebihan bila situasi KPK per hari ini dijadikan salah satu penanda ada atau tidaknya gejala arus balik berupa upaya negosiasi ulang atas capaian reformasi.

Akrobat pembahasan kilat revisi UU KPK yang penuh kejanggalan, seleksi dan pemilihan komisioner KPK yang kontroversial, dipaksakannya keberadaan Dewan Pengawas KPK yang problematik, sampai sikap Presiden Jokowi yang terkesan menutup mata atas berbagai upaya pelemahan KPK, cukup menunjukkan gejala arus balik ini.

Gejala arus balik ini tentu mencemaskan kita semua. Apa yang terjadi pada KPK, bukan tak mungkin terjadi juga pada lembaga-lembaga capaian reformasi lainnya. Pada bulan Mei lalu sempat mencuat wacana tentang rencana DPR merevisi UU Mahkamah Konstitusi. Rencana ini tidak ada dalam Prolegnas prioritas tahun 2020, dan telah menuai penolakan dan kritik keras dari para akademisi dan organisasi masyarakat sipil.

Kita tentu juga masih ingat wacana untuk menghidupkan kembali GBHN melalui amandemen UUD 1945 di tahun lalu. Hal ini seolah menambahkan tanda-tanda bahwa memang ada upaya untuk memutar balik arah perubahan, untuk kembali ke masa lalu. Ruang kebebasan sipil pun terasa semakin menyempit. Serentetan penangkapan dan kriminalisasi aktivis, peretasan alat komunikasi, pelarangan dan pembubaran diskusi, dan lain-lain, masih terus saja terjadi. Hal ini tergambarkan di berbagai laporan, misalnya laporan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang mencatat setidaknya 78 kasus pelanggaran kebebasan berpendapat di tahun 2019, atau data Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menunjukkan bahwa sepanjang 2006 – 2020 total ada 774 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Laporan Freedom House tahun 2019 menempatkan Indonesia dengan status “Bebas Sebagian” (Partly Free).

Selain menghadapi mendung kebebasan, kita juga sering harus berurusan dengan persoalan legislasi bermasalah yang muncul menelikung. Masih segar dalam ingatan kita kontroversi soal RUU KUHP yang bermasalah tahun lalu, atau pengesahan RUU Minerba  baru-baru ini yang menuai penolakan. Di tahun 2020 ini, ada juga permasalahan sederet Omnibus Law yang menanti di tikungan.

Gambaran berbagai permasalahan di  atas, tentu  bukan dalam rangka mengurangi apresiasi kita pada berbagai upaya reformasi hukum yang ada. Terlepas dari berbagai kekurangannya, tentu banyak pencapaian reformasi hukum masih terus berlangsung hingga kini, misalnya upaya perbaikan di bidang reformasi peradilan, profesi hukum, hukum bisnis, masalah akses pada keadilan (access to justice), dan lain sebagainya.

Tags:

Berita Terkait