Reformasi Regulasi, Gagasan Akademik dari Tiga Kota
Resensi:

Reformasi Regulasi, Gagasan Akademik dari Tiga Kota

Inilah sumbang saran dari sejumlah akademisi mengenai reformasi peraturan perundang-undangan Indonesia.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Reformasi Regulasi, Gagasan Akademik dari Tiga Kota
Hukumonline

Sebuah referensi baru hadir di tengah diskursus mengenai penataan regulasi, khususnya rencana pemerintah menyusun sejumlah Omnibus Law. Revisi UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan merupakan bagian tak terpisahkan dari gagasan reformasi regulasi tersebut. Kini sudah ada hasil revisinya: UU No. 15 Tahun 2019. Buku ‘Menggagas Arah Kebijakan Reformasi Regulasi di Indonesia’ dapat disebut tepat waktu.

Substansi buku ini adalah buah gagasan dan diskusi dari sejumlah akademisi mengenai kondisi peraturan perundang-undangan Indonesia beserta masalahnya. Masalah yang sering dikemukakan berkisar pada jumlah yang sangat banyak (overregulated), dan disharmoni antar perundang-undangan baik secara vertical maupun horizontal. Selain itu, jenis peraturan tertentu terkesan sangat banyak jumlahnya, dan berimbas pada keharmonisan. Peraturan Menteri (Permen), misalnya. Sebagai bagian dari eksekutif dan ‘pembantu’ presiden, Menteri seharusnya membuat peraturan yang sejalan dengan politik hukum Presiden.

Di Indonesia, sejak 1945 sampai pertengahan 2019 tidak kurang dari 14.334 jumlah Permen yang membuat jenis peraturan ini termasuk yang tertinggi jumlahnya. Jenis peraturan inilah yang antara lain mendapat sorotan dari para akademisi. Benang kusut regulasi membutuhkan solusi. “Perlu dilakukan penataan bagi peraturan menteri sebagai upaya reformasi regulasi di Indonesia” (hal. 5).

Presiden Joko Widodo sebenarnya sudah menyinggung persoalan ini ketika memulai masa jabatan keduanya. Ia menegaskan tidak ada visi misi Menteri, yang ada visi misi presiden. Artinya, kebijakan yang harus dijalankan menteri adalah kebijakan Presiden. Dengan demikian, kebijakan ini mengantarkan peran Peraturan Presiden (Perpres) semakin penting. Namun bukan berarti jenis peraturan perundang-undangan lain tidak penting. Indonesia masih menghadapi beragam persoalan legislasi, tidak hanya masalah formil, tetapi juga material.

(Baca juga: Inginkan Peringkat EoDB Naik, ke 50, Reformasi Regulasi Harus Dilakukan).

Sekadar contoh, lihatlah masalah-masalah formil dalam pembentukan peraturan. Pertama, pada tahap perencanaan, ada ketidaktaatan lembaga pembentuk pada prosedur  pengusulan, pembahasan, dan penetapan. Kedua, ketidaktaatan itu juga dapat dilihat pada pembangunan sarana dan prasarana yang diperintahkan peraturan tertentu. UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, misalnya, menyediakan waktu satu tahun bagi pemerintah untuk menyusun peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini. Faktanya justru berkata lain. Problem yang sama ditemukan di banyak Undang-Undang lain. Ketiga, masalah ketidaksesuaian materi muatan dengan jenis peraturan yang dibentuk. Ada banyak Undang-Undang mengatur bidang kesehatan, padahal yang diatur adalah rumpun yang sama. Sebagian dari materi itu seharusnya cukup diatur dalam Peraturan Menteri kesehatan. Keempat, keterbukaan atau transparansi dalam proses pembentukan peraturan, yang berimplikasi pada tingkat partisipasi masyarakat. Salah satu yang paling kontroversial dalam proses pembahasan revisi UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (hal. 92-95).

Hukumonline.com

Buku ‘kompilasi’ pemikiran kalangan akademisi ini menyinggung pula aspek lain penataan regulasi, yakni penguatan kelembagaan. Pertanyaan mendasar yang harus dijawab: apakah DPR dan pemerintah mengawasi peraturan yang dibuat eksekutif untuk pelaksanaan Undang-Undang? Seharusnya, tugas pengawasan itu dilakukan agar mengetahui bagian mana dari peraturan pelaksana tersebut yang tidak sejalan dengan maksud pembentuk Undang-Undang. Dalam konteks inilah muncul gagasan pengawasan beserta urgensinya, yang di Uni Eropa disebut post legislative scrutiny (hal. 386).

(Baca juga: Penerapan Asas Dominis Litis dalam UU KPK).

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) –dibantu IDLO—telah berhasil merangkum pandangan-pandangan kritis para akademisi di tiga kota: Padang, Yogyakarta, dan Surabaya. Gagasan-gagasan yang muncul dalam buku ini sangat berguna bagi biro hukum pemerintahan, Badan Legislasi DPR, dan para pemerhati pembentukan peraturan perundang-undangan. Paling tidak, termuat sejumlah opsi yang mungkin dapat dipilih ke depan sejalan dengan politik hukum nasional. Satu hal penting yang layak digarisbawahi adalah kualitas regulasi sangat mempengaruhi potensi terjadinya korupsi atau tidak (hal. 247). 

Proses editing buku ini meninggalkan beberapa kesalahan yang mungkin dapat mengganggu kenyamanan pembaca. Apakah Anda terganggung membaca lema ‘kebijaksanaan’ dituliskan menjadi ‘kebijakaksanaan’? Jika tidak, maka clerical errors semacam itu tak mengurangi sepenuhnya bobot diskursus mengenai reformasi regulasi di Indonesia. Selebihnya, tergantung bagaimana para pembaca memandang urgensi buku ini.

Selamat membaca…!

Tags:

Berita Terkait