Regulasi Baru E-Court Pengadilan: Era Baru Pengurusan dan Pemberesan Kepailitan
Kolom

Regulasi Baru E-Court Pengadilan: Era Baru Pengurusan dan Pemberesan Kepailitan

SK KMA 363/2022 menawarkan terobosan yang berani, dan patut diantisipasi sebagai faktor penting dalam peningkatan tata kelola kepailitan dan PKPU di Indonesia.

Bacaan 10 Menit
Aria Suyudi. Foto: Istimewa
Aria Suyudi. Foto: Istimewa

Pada penghujung 2022 lalu Mahkamah Agung RI kembali melakukan pembaruan terhadap kerangka hukum yang berlaku terhadap administrasi dan persidangan elektronik di pengadilan. Sekaligus tiga Peraturan Mahkamah Agung disahkan, meliputi Perma No. 6 Tahun 2022 tentang Administrasi Pengajuan Upaya Hukum dan Persidangan Kasasi dan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung Secara Elektronik, Perma No. 7 Tahun 2022 tentang Perubahan Perma No. 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik dan Perma No. 8 Tahun 2022 tentang Perubahan Perma No. 4 Tahun 2022 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik.

Tidak pula ketinggalan disahkannya Petunjuk Teknis Pelaksanaan E-Court bagi perkara perdata yang juga diperbaharui dengan SK KMA 363 KMA/SK/XII/2022 (SK KMA 363/2022) dan Petunjuk Teknis Pelaksanaan E-Court bagi perkara pidana melalui SK KMA 365 KMA/SK/XII/2022 (SK KMA 365/2022).

Secara umum rangkaian kerangka hukum ini bertujuan untuk menjawab masalah-masalah yang timbul selama tiga tahun terakhir pelaksanaan administrasi dan persidangan secara elektronik. Mahkamah Agung kelihatannya belajar banyak dari pelaksanaan administrasi dan persidangan secara elektronik dan kelihatannya bertekad membuat kerangka hukum baru ini lebih lengkap, tegas dan jelas.

Baca juga:

Perma 7/2022 makin mengukuhkan posisi Mahkamah Agung dalam mendorong proses administrasi dan persidangan berbasis elektronik sebagai proses utama berperkara di pengadilan masa depan, dengan penyempurnaan berbagai konsep dasar dan sekaligus memperluas keberlakuan administrasi dan persidangan elektronik pada semua jenis perkara perdata. Dari sisi prinsip, peraturan baru masih menggunakan prinsip konsensual untuk memulai proses administrasi dan persidangan secara elektronik, dalam artian proses elektronik hanya bisa dimulai berdasarkan persetujuan para pihak, mengingat Hukum Acara Perdata yang mestinya jadi payung administrasi dan persidangan secara elektronik belum juga tersedia.

Namun pada peraturan baru ini, ketidakmampuan atau ketidaksetujuan pihak untuk menjalankan prosedur elektronik tidak menghalangi dimulainya prosedur administrasi dan persidangan secara elektronik. Sebagai gantinya pengadilan memfasilitasi para pihak yang tidak bisa mengakses sistem pengadilan elektronik melalui menyediakan layanan meja e-court dan penyampaian panggilan dan surat melalui surat tercatat.

Hal penting yang perlu diperhatikan adalah perluasan prosedur administrasi dan persidangan elektronik pada perkara perdata khusus dan perkara khusus lainnya, yang sebelumnya belum diatur dan belum diakomodasi dalam sistem administrasi dan persidangan elektronik, oleh karenanya memang belum dapat dilayani oleh sistem e-court. Apabila pada Juknis lama, yaitu SK KMA Nomor 129 KMA/SK/VII/2019 (SK KMA 129/2019) pengaturan hanya meliputi Administrasi dan Persidangan Perkara Perdata, Perkara Perdata Agama, Perkara Tata Usaha Negara, dan Biaya Perkara secara upaya hukum secara Elektronik, maka pada SK KMA 363/2022 sebagai petunjuk teknis baru, lingkup ini diperluas hingga mencakup administrasi perkara dan persidangan pada perkara perdata khusus, perkara permohonan konsinyasi secara elektronik, dan perkara sengketa Tata Usaha Negara Khusus secara elektronik, selain juga mengubah beberapa ketentuan pada bagian Upaya Hukum.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait