Regulasi Ini Disebut Menambah Beban Sengkarut Sengketa Tanah di Pengadilan
Terbaru

Regulasi Ini Disebut Menambah Beban Sengkarut Sengketa Tanah di Pengadilan

Sengkarut sengketa kasus tanah di pengadilan disebabkan banyak faktor. Salah satunya, persoalan regulasi, seperti UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan peraturan turunannya PP No.18 Tahun 2021, PP No.19 Tahun 2021, dan PP No.64 Tahun 2021.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit

Selain itu, berlakunya PP No.64 Tahun 2021 tentang Bank Tanah, ada potensi tanah negara bekas hak atas tanah itu ditetapkan menjadi aset Bank Tanah dengan dilekati hak pengelolaan (HPL). Tak ada ketentuan yang menegaskan tanah HGU yang semula diberikan di atas tanah negara akan tetap diberikan statusnya di atas tanah negara jika diperbarui.

“Ketentuan ini membuka potensi gugatan oleh pemegang hak karena merasa dirugikan sebab dia memiliki kewajiban ganda yakni kepada pemerintah dan kepada pemegang HPL.”

Ketiga, PP No.18 Tahun 2021 juga mengatur untuk masyarakat hukum adat (MHA) dapat ditetapkan HPL di atas tanah ulayatnya. Prof Maria menegaskan ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 dan UU PA. MHA punya kewenangan melekat pada tanah ulayatnya, dan tidak memerlukan pelimpahan kewenangan dari siapa pun, termasuk dari negara.

Keempat, UU Cipta Kerja dan PP No.19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum menyebut pemegang hak atas tanah yang haknya sudah berakhir, tapi masih memanfaatkan tanahnya dengan bukti sertifikat hak atas tanah yang sudah berakhir.

Hal ini dikategorikan sebagai pihak berhak yang beriktikad baik yang bisa diberikan ganti kerugian jika tanahnya diperlukan bagi pembangungan untuk kepentingan umum. Tapi tidak ditegaskan ganti kerugian harus diberikan atas bangunan, tanaman, dan benda yang ada di atas tanah negara bekas hak atas tanah yang sudah berakhir itu.

Menurutnya, tidak ada lagi hubungan hukum antara bekas pemegang hak dengan tanahnya ketika hak berakhir dan hapus. Sesuai asas pemisahan horizontal, Prof Maria mengingatkan hubungan hukum bekas pemegang hak atas tanah dengan tanaman, bangunan, dan benda-benda di atas tanah tersebut masih ada. Seandainya kepada bekas pemegang hak atas tanah tersebut diberikan ganti kerugian terhadap tanahnya, maka hal itu termasuk dalam perbuatan ”merugikan keuangan negara” karena memberikan ganti kerugian atas tanah negara.

Kelima, PP No.19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, belum mengatur tentang objek dan bentuk ganti kerugian terhadap tanah ulayat MHA. Padahal, MHA disebut sebagai salah satu pihak yang berhak menerima ganti kerugian. Jika kerugian yang dialami oleh MHA disamakan dengan kerugian oleh non-MHA, menurut Prof Maria itu jelas merugikan MHA.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait