Regulasi Ini Disebut Menambah Beban Sengkarut Sengketa Tanah di Pengadilan
Terbaru

Regulasi Ini Disebut Menambah Beban Sengkarut Sengketa Tanah di Pengadilan

Sengkarut sengketa kasus tanah di pengadilan disebabkan banyak faktor. Salah satunya, persoalan regulasi, seperti UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan peraturan turunannya PP No.18 Tahun 2021, PP No.19 Tahun 2021, dan PP No.64 Tahun 2021.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit
Guru Besar FH UGM, Prof Maria S.W Sumardjono saat memaparkan materi seminar bertajuk 'Peran KY dalam Mengawasi Silang Sengkarut Kasus Pertanahan di Pengadilan,' Kamis (7/10/2021). Foto: ADI
Guru Besar FH UGM, Prof Maria S.W Sumardjono saat memaparkan materi seminar bertajuk 'Peran KY dalam Mengawasi Silang Sengkarut Kasus Pertanahan di Pengadilan,' Kamis (7/10/2021). Foto: ADI

Pertanahan merupakan salah satu bidang yang rawan menimbulkan sengketa. Tak jarang sengketa tanah berujung saling menggugat ke pengadilan. Belum lagi, berbagai sengketa pertanahan ini melibatkan mafia tanah. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) sendiri telah menerima lebih dari 240 laporan yang diduga ada keterlibatan mafia tanah.

Guru Besar FH UGM, Prof Maria S.W Sumardjono menilai silang sengkarut sengketa kasus pertanahan di pengadilan disebabkan banyak faktor. Misalnya, pemahaman hakim atas konsep dan prinsip UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU PA), asas hukum tanah nasional, dan landasan hukum tertulis, dan tidak tertulis yang digunakan dalam menyusun alasan dan pertimbangan hukum membuat putusan.

Persoalan lain yang berkontribusi menambah beban para hakim di pengadilan yang menangani perkara pertanahan yakni adanya regulasi yang mengandung ketidakpastian hukum, salah satunya UU No.11 Tahun 2020 dan peraturan turunannya. Prof Maria menilai pengaturan bidang pertanahan dalam UU Cipta Kerja bertentangan dengan UU PA yang mengandung konflik norma/regulasi. Padahal, selama UU PA belum diubah atau dicabut, semua ketentuan pertanahan seharusnya selaras dengan UU PA.

“Peraturan Pemerintah (PP) turunan UU Cipta Kerja hanya mendasarkan pada UU Cipta Kerja dan tidak selaras dengan UU PA. Ini berpotensi menambah silang sengkarut perkara pertanahan di pengadilan,” kata Prof Maria dalam seminar yang digelar secara daring dan luring bertajuk “Peran KY dalam Mengawasi Silang Sengkarut Kasus Pertanahan di Pengadilan,” Kamis (7/10/2021). (Baca Juga: KY Butuh Bersinergi untuk Berantas Kasus Mafia Tanah di Pengadilan)

Prof Maria mencatat sedikitnya 5 aturan bidang pertanahan dalam UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya yang mengandung ketidakpastian hukum sehingga berpotensi menambah silang sengkarut perkara di pengadilan. Pertama, pemilikan tanah dan rumah tempat tinggal/hunian bagi WNA. Sebelum terbit UU Cipta Kerja, aturannya mengacu UU PA.

Tapi setelah UU Cipta Kerja terbit untuk rumah tapak, hak atas tanah bagi WNA adalah hak pakai, selaras dengan UU PA. Tapi, untuk satuan rumah susun (sarusun)/flat/unit/apartemen tanah bersama statusnya HGB, bertentangan dengan UU PA yang berstatus hak pakai.

Kedua, pemberian HGU diatas HPL yang diatur UU Cipta Kerja dan PP No.18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, bertentangan dengan UUPA. Menurutnya, sesuai PP itu jika hak tanah berakhir, tidak diperpanjang atau diperbarui, hak atas tanahnya dihapus dan tanah menjadi tanah negara yang pengaturannya menjadi kewenangan Menteri ATR/BPN.

Selain itu, berlakunya PP No.64 Tahun 2021 tentang Bank Tanah, ada potensi tanah negara bekas hak atas tanah itu ditetapkan menjadi aset Bank Tanah dengan dilekati hak pengelolaan (HPL). Tak ada ketentuan yang menegaskan tanah HGU yang semula diberikan di atas tanah negara akan tetap diberikan statusnya di atas tanah negara jika diperbarui.

“Ketentuan ini membuka potensi gugatan oleh pemegang hak karena merasa dirugikan sebab dia memiliki kewajiban ganda yakni kepada pemerintah dan kepada pemegang HPL.”

Ketiga, PP No.18 Tahun 2021 juga mengatur untuk masyarakat hukum adat (MHA) dapat ditetapkan HPL di atas tanah ulayatnya. Prof Maria menegaskan ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 dan UU PA. MHA punya kewenangan melekat pada tanah ulayatnya, dan tidak memerlukan pelimpahan kewenangan dari siapa pun, termasuk dari negara.

Keempat, UU Cipta Kerja dan PP No.19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum menyebut pemegang hak atas tanah yang haknya sudah berakhir, tapi masih memanfaatkan tanahnya dengan bukti sertifikat hak atas tanah yang sudah berakhir.

Hal ini dikategorikan sebagai pihak berhak yang beriktikad baik yang bisa diberikan ganti kerugian jika tanahnya diperlukan bagi pembangungan untuk kepentingan umum. Tapi tidak ditegaskan ganti kerugian harus diberikan atas bangunan, tanaman, dan benda yang ada di atas tanah negara bekas hak atas tanah yang sudah berakhir itu.

Menurutnya, tidak ada lagi hubungan hukum antara bekas pemegang hak dengan tanahnya ketika hak berakhir dan hapus. Sesuai asas pemisahan horizontal, Prof Maria mengingatkan hubungan hukum bekas pemegang hak atas tanah dengan tanaman, bangunan, dan benda-benda di atas tanah tersebut masih ada. Seandainya kepada bekas pemegang hak atas tanah tersebut diberikan ganti kerugian terhadap tanahnya, maka hal itu termasuk dalam perbuatan ”merugikan keuangan negara” karena memberikan ganti kerugian atas tanah negara.

Kelima, PP No.19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, belum mengatur tentang objek dan bentuk ganti kerugian terhadap tanah ulayat MHA. Padahal, MHA disebut sebagai salah satu pihak yang berhak menerima ganti kerugian. Jika kerugian yang dialami oleh MHA disamakan dengan kerugian oleh non-MHA, menurut Prof Maria itu jelas merugikan MHA.

Dia menjelaskan bagi MHA, tanah dan SDA di atasnya adalah ”ruang hidup.” Nilai non-ekonomis atas kehilangan tanah dan SDA di atasnya lebih besar ketimbang nilai ekonomisnya. Maka tidak adil jika tidak merinci jenis kerugian yang dapat dialami MHA terkait tanahnya jika diperlukan untuk kepentingan umum, dan bagaimana bentuk serta penentuan besaran ganti kerugiannya.

Menurutnya, UU Cipta Kerja bertujuan untuk membuka peluang investasi, sehingga membutuhkan tanah, termasuk menyasar tanah ulayat MHA. Hal ini berpotensi meningkatkan konflik dengan MHA jika jenis kerugian/objek dan bentuk serta besaran ganti kerugiannya belum diatur dalam peraturan perundang-undangan.

“Seandainya MHA mengajukan masalah tentang ganti kerugian yang dirasa tidak adil ke pengadilan, bagaimana hakim akan memutus perkara ini?”

Memerangi mafia tanah

Menteri ATR/BPN, Sofyan Djalil, menegaskan pemerintah serius memerangi mafia tanah. Bahkan, dia mengakui birokrat ATR/BPN ada yang menjadi bagian dari mafia tanah. Langkah tegas terus dilakukan untuk membersihkan aparat ATR/BPN yang terlibat dalam mafia tanah. “Kasus pertanahan itu bisa dihindari kalau oknum ATR/BPN tidak terlibat di dalamnya. Kalau berhadapan dengan aparat yang berintegritas, maka tidak ada perkara mafia tanah yang berkembang,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.

Beberapa modus yang kerap digunakan mafia tanah antara lain dengan memanfaatkan surat keterangan tanah (SKT) yang diterbitkan kelurahan, dokumen girik lama, dan lainnya. Girik digunakan mafia tanah untuk menggugat tanah yang sudah ada sertifikatnya. Mereka berjejaring dengan mafia pengadilan untuk bisa memenangkan perkara. Kasus seperti ini banyak terjadi di berbagai wilayah. “Pemerintah berkomitmen memerangi mafia tanah,” imbuhnya.

Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, mengatakan mafia tanah berkaitan juga dengan konflik agraria. Mafia tanah merupakan masalah yang sudah terjadi sangat lama dan tak kunjung tuntas. Dia mengingat tahun 2009 pemerintah membentuk Satgas Pemberantasan Mafia Hukum dimana kasus pertanahan menempati posisi paling atas. Tahun 2017, Presiden Jokowi pun pernah membentuk tim untuk menuntaskan konflik agraria, tapi masalah yang diadukan masyarakat tak kunjung selesai.

“Praktik mafia dan spekulan tanah semakin memperkeruh konflik agraria,” kata dia.

KPA mencatat banyak sebab yang membuat mafia tanah semakin meningkat, antara lain peraturan perundang-undangan di bidang agraria dan sumber daya alam yang memberikan celah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sistem informasi di bidang pertanahan, lemahnya pengawasan publik, dan penegakan hukum juga mendorong meningkatnya mafia tanah.

“Penting untuk membuka data HGU, HGB, HPL menjadi transparan, apalagi jika sudah menimbulkan konflik agraria,” harapnya.

Menurut Dewi, penyelesaian kasus pertanahan selama ini masih tebang pilih. Jika korbannya pejabat penyelesaian perkara dilakukan lebih cepat daripada masyarakat biasa. Praktik monopoli tanah oleh swasta juga memicu mafia tanah dan spekulan tanah. Padahal, UU Pokok-Pokok Agraria telah melarang monopoli lahan oleh swasta.

Tags:

Berita Terkait