Regulasi Labil Berdampak Pada Iklim Investasi Pertambangan
Meneropong Bisnis Tambang Pasca PP Minerba

Regulasi Labil Berdampak Pada Iklim Investasi Pertambangan

Pada dasarnya masalah hilirisasi tambang di Indonesia akan selesai jika pemerintah konsisten.

Oleh:
M DANI PRATAMA HUZAINI/FNH
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi kegiatan usaha pertambangan minerba. Foto: RES
Ilustrasi kegiatan usaha pertambangan minerba. Foto: RES
Satu hal menarik dari disahkannya PP No. 1 Tahun 2017 tentang Perubahan keempat Atas Peraturan Pemerintah No.23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (PP Minerba) adalah iklim investasi pertambangan dalam merespons perubahan regulasi.

Tercatat sejak disahkannya UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, telah terjadi 4 kali perubahan peraturan pelaksana setingkat Peraturan Pemerintah (PP). Sebelumnya,PP No.23 Tahun 2010 diubah dengan PP No. 24 Tahun 2012. Kemudian diubah dengan PP No. 1 Tahun 2014, lalu diubah lagi dengan PP No. 77 Tahun 2014, dan yang terakhir menjadi PP No. 1 Tahun 2017.

Hukumonline.com
Sumber: Kementerian ESDM

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM, Bambang Gatot Aryono, mengatakan pemerintah berkomitmen dalam melaksanakan peningkatan nilai tambah mineral di dalam negeri. Menurutnya, Peraturan Pemerintah (PP) No.1 Tahun 2017 beserta Peraturan Menteri ESDM sebagai regulasi turunannya adalah solusi terbaik untuk mempercepat peningkatan nilai tambah mineral di dalam negeri.“Dalam jangka panjang kita akan menikmati hasilnya," kata Bambang.

Bambang menjelaskan bahwa berbagai regulasi di subsektor minerba yang dikeluarkan baru-baru ini, dilandasi oleh pertimbangan akan kondisi kekinian industri pertambangan dan tidak lepas dari keinginan agar program peningkatan nilai tambah mineral dapat berjalan sukses. (Baca Juga: Membongkar Kerancuan Regulasi Minerba di Indonesia)

“Persepsi yang berkembang bahwa pemerintah tidak berkomitmen terhadap hilirisasi mineral adalah tidak benar. Justru kita berkomitmen dan mengawal kesuksesan program hilirisasi ini dengan pertimbangan yang lebih luas dan menyeluruh," jelas Bambang.

Hukumonline.com
Sumber: Kementerian ESDM

Namun, sering berubahnya regulasi di sektor pertambangan tak jarang menuai kritik. Salah satunya datang Direktur Eksekutif Dewan Pengembangan Industri Pertambangan Indonesia, Priyo Pribadi Soemarno. “Berubah-ubahnya peraturan itu sangat jelas berpengaruh terhadap investasi,” jelas Priyo kepada hukumonline.

Menurut Priyo, investasi pertambangan merupakan jenis investasi jangka panjangsehingga dana yang digunakan tidak bersumber dari dana yang tersedia pada bank reguler, melainkan berasal dari dana yang memiliki durasi jangka panjang. Dana-dana tersebut bisa bersumber dari dana asuransi atau dana pensiun yang memang memiliki bunga rendah dan toleran terhadap jangka waktu pengembalian yang panjang. (Baca Juga: Konsistensi Pemerintah Laksanakan UU Minerba Dipertanyakan)

Kenapa mesti demikian? Hal ini dikarenakan industri pertambangan merupakan jenis industri yang memiliki risiko sangat besar. Priyo mencontohkan, dari 100 perusahaan tambang yang melakukan eksplorasi, tingkat keberhasilan sampai dengan menemukan cadangan mineral, biasanya tidak lebih dari 4 perusahaan. “Yang 96 lagi itu gagal. Jadi investasi mereka hangus, gagal,” katanya.

Priyo menjelaskan bagi perusahaan yang berhasil menemukan endapan mineral, untuk melanjutkan eksplorasi ke tahap eksplorasi maka perusahaan terebut mesti membuka tambang tersebut sendiri, dari mulai membangun akses jalan, sarana tambang, dan pabrik pengolahan, serta kebutuhan lainnya.

Apabila dalam menjalankan segala proses tersebut, kemudian terjadi perubahan aturan terkait, hal yang bisa terjadi adalah terganggunya proses pertambangan sehingga investasi berhenti. “Nah kalau orang sudah menambang, kemudian peraturan berubah dan dia tidak bisa melanjutkan, dia berhenti, alat beratnya dilelang, karyawannya diberhentikan, tapi lingkungannya tak dikembalikan,” terang Priyo.

Priyo juga menuturkan terkait perbedaan perusahaan tambang yang memulai usaha tambang dari eksplorasi dengan yang memulai pada tahap eksploitasi. Menurut Priyo, mereka tidak melakukan eksplorasi, artinya mereka cuma gali lalu menjual. “Soalnya, di situ sudah ada barangnya tak perlu eksplorasi lagi. Dan kalau yang kejadian seperti itu dia tidak memerlukan investasi pakaidana yang jangka panjang, jangka pendek mampu dia,”kata Priyo. (Baca juga: Revisi UU Minerba Tekankan Hilirisasi Dalam Negeri)

Dia melanjutkan, untuk perusahaan seperti ini bisa langsung melakukan penambangan tapi tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan dan tidak memberikan masukan yang berarti kepada pemerintah terkait informasi cadangan mineral.

Oleh karena itu, menurut Priyo, penting adanya aturan agar negara bisa menjaga cadangan mineralnya ataupun sumber daya alam sehingga kegiatan penambangan dapat menerapkan konsep yang berkelanjutan, tidak hanya mengeksploitasi. “Ditambang dengan konsep yang berkelanjutan dan tidak gali jual, gali jual,” kata Priyo.

Berpotensi Dijudicial Review
Tak lama setelah Presiden Joko Widodo menandatangani PP No.1 Tahun 2017 tentang Perubahan keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat dan orang per orang yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Pengawal Konstitusi Sumber Daya Alam melemparkan kritik keras kepada pemerintah. Kritik tersebut muncul setelah ekspor mineral mentah diperpanjang lewat tiga regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Pakar Hukum Sumber Daya Alam Universitas Tarumanagara, Ahmad Redi, yang turut bergabung dalam koalisi menggarisbawahi tiga regulasi baru,yaitu PP No.1 Tahun 2017, Permen ESDM  No.5 Tahun 2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di dalam Negeri dan Permen ESDM No.6 Tahun 2017 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Permurnian.

Menurut Ahmad, tiga reluasi tersebut jelas menyimpang dari Pasal 102, Pasal 103, dan Pasal 170 UU No.4 Tahun 2009 tentang Minerba. Dia mencatat setidaknya ada tiga pokok ketentuan dalam Permen ESDM 5/2017 dan Permen ESDM 6/2017 yang digarisbawahi oleh Koalisi. Tiga pokok tersebut adalah pemberian kelonggaran ekspor terhadap mineral yang belum diolah dan dimurnikan selama 5 (lima) tahun sejak Januari 2017, pemberian kelonggaran ekspor mineral selama 5 (lima) tahun sejak Januari 2017 kepada pemegang Kontrak Karya (KK) yang melakukan perubahan bentuk pengusahaan menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), dan adanya mekanisme perubahan bentuk perubahan pengusahan dari KK menjadi IUPK.

Dia menjelaskan, jika merujuk kepada kebijakan, Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba telah menegaskan kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral mentah di dalam negeri bagi pemegang IUP/IUPK, sedangkan Pasal 170 UU Minerba juga mewajibkan seluruh pemegang Kontrak Karya (KK) yang sudah berproduksi seperti PT Freeport Indonesia, PT Newmont Nusa Tenggara, dan lain-lain untuk melakukan pemurnian selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak UU Minerba diundangkan, yakni Tahun 2014.

Maka, terbitlah Permen ESDM No. 7/2012. Namun, lanjut Redi, dilihat dari rentetan kebijakan yang selanjutnya dikeluarkan, pemerintah justru terlihat plin plan. Ia mencontohkan Permen ESDM No. 20/2013 yang memberikan tenggat waktu untuk eskpor mineral mentah hingga Januari 2014 dan Permen ESDM No. 1/2014 yang mengizinkan ekspor konsentrat hingga Januari 2017.

Atas dasar itu pula, Redi menegaskan bahwa Koalisi bersepakat untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung (MA) terhadap tiga regulasi ini. Rencananya, pekan depan permohonan uji materi akan didaftarkan ke MA.

Selain bertentangan dengan UUD 1945 dan UU Minerba, Redi menambahkan bahwa uji materil dilakukan dengan mempertimbangkan izin ekspor yang memicu eksploitasi sumber daya mineral dan batubara secara besar-besaran dan tidak bertanggung jawab. Terbukti, sejak 2011 hingga 2016 terdapat penambahan izin usaha pertambangan dari 9.662 IUP hingga 10.066 IUP.

Padahal, 3.682 IUP Mineral berstatus non-Clear & Clean, 6,3 juta hektare di antaranya beroperasi di hutan lindung dan hutan konservasi; 24% perusahaan selama (2010-2012) tidak memiliki nomor pokok wajib pajak; 75% nya tidak membayar dana jaminan reklamasi dan pasca-tambang, juga perusahaan menunggak penerimaan negara sebesar 23 Triliun (2016).

Pelonggaran ekspor mineral juga dinilai telah memicu eksploitasi sumber daya mineral yang berlebihan yang telah menyebabkan kerusakan lingkungan. Degradasi fungsi lingkungan tidak hanya diwariskan oleh kegiatan pertambangan yang tidak berizin, namun juga berasal dari kegiatan pertambangan  berizin, namun beroperasi di luar kawasannya.

Pelonggaran keran ekspor dan kewajiban pembangunan smelter telah memunculkan ketidakpastian hukum. Inkonsistensi kebijakan dan kurangnya koordinasi antarkementerian (Kementerian ESDM dan Kementerian Perindustrian dalam pengurusan izin industri smelter) – telah menyebabkan perkembangan industri smelter berjalan lambat. Bahkan, pembukaan kembali keran ekspor konsentrat dan mineral mentah dapat mengacaukan upaya pembenahan dan penataan izin usaha pertambangan (IUP) di Indonesia yang telah dirintis oleh KPK, Kementerian ESDM, bersama Pemda dan instansi terkait.

Dan, perubahan pengusahaan Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) menyalahi ketentuan dalam UU Minerba yang mengatur bahwa untuk menjadi IUPK maka perlu ditempuh prosedur kewilayahan usaha yang ketat, yaitu dimulai dengan adanya penetapan Wilayah Pencadangan Negara (WPN) yang disetujui oleh DPR RI, kemudian penetapan menjadi Wilayah Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) yang selanjutnya WIUPK ditawarkan kepada BUMN, dan apabila BUMN tidak berminat maka WIUPK dilelang kepada swasta untuk selanjutnya diterbitkan IUPK.

Selain itu, pemegang KK seperti PT Freeport yang mengubah bentuk pengusahaan menjadi IUPK tentu akan mendapatkan manfaat tambahan jangka waktu operasi tambang minimal 10 tahun. Padahal, Pemerintah harus mulai memikirkan untuk mengembalikan wilayah operasi tambang PT Freeport yang akan berakhir pada 2021 kepada negara untuk selanjutnya dikelola oleh segala potensi dalam negeri.

“Ketentuan pelonggaran ekspor mineral mentah dan hasil pengolahan serta perubahan KK menjadi IUPK tentu berpotensi memberikan keuntungan bagi sekelompok pihak dan merugikan kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar. Bahkan KPK perlu melakukan penyelidikan kemungkinan adanya corruption by law dalam penyusunan Permen ESDM 5/2017 dan 6/2017 khususnya mengenai ketentuan pelonggaran ekspor nikel dan bauksit dan pengaturan perubahan pengusahaan KK menjadi IUPK,” tegasnya.

Berikut skema perubahan KK menjadi IUPK yang diatur dalam PP Minerba menurut Kementerian ESDM:


Hukumonline.com
Sumber: Kementerian ESDM

Koordinator Nasional Pay What You Pay (PWYP) Maryati Abdullah menambahkan, pada dasarnya masalah hilirisasi tambang di Indonesia akan selesai jika pemerintah konsisten terhadap UU Minerba. UU Minerba jelas hanya memberikan tenggat waktu hingga 2014 untuk membangun pabrik pemurnian mineral. Namun, persoalan muncul ketika pemerintah justru memperpanjang ekspor mineral mentah dengan syarat.

“Sebenarnya kalau pemerintah tidak memperpanjang ekspor (mineral), selesai masalanya. Tidak ada pengecualian semua perusahaan tambang wajib membangun pabrik pemurnian mineral,” tandasnya.

Hal yang sama dikatakan pengamat pertambangan, Marwan Batubara. Menurutnya, PP 1/2017, jelas-jelas melanggar UU Minerba. Dia menyoroti proses perubahan dari rezim KK ke rezim IUPK yang tidaklah mudah, seperti yang diatur dalam PP 1/2017.

“KK menjadi IUPK bukan proses yang sebentar dan tahap-tahapnya itu tidak seperti yang sekarang, ada perubahan status wilayah dulu menjadi wilayah penguasaan negara, baru dari sana ada tender, baru lah bisa nanti siapa yang menang itu yang punya hak untuk mendapatkan IUPK. Kalau sekarang tahapan itu dilangkahi sehingga jelas itu juga pelenggaran UU. Maksudnya, koreksi langkah yang mencoba untuk mengakomodasi kepetingan Freeport karena kalau megikuti UU yang ada mereka itu sudah tidakeligibleuntuk mengekspor konsentrat,” kata Marwan kepada
hukumonline.
Tags:

Berita Terkait