Regulasi-Regulasi ‘Penjaga Optimisme’ di Sektor Jasa Keuangan
Berita

Regulasi-Regulasi ‘Penjaga Optimisme’ di Sektor Jasa Keuangan

Regulator optimis pertumbuhan dan stabilitas ekonomi sepanjang tahun 2017 akan mencapai target masing-masing. BI dan OJK, masing-masing punya strategi yang akan di keluarkan sepanjang tahun ini.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Direktur Eksekutif Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Juda Agung. Foto: NNP
Direktur Eksekutif Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Juda Agung. Foto: NNP
Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2017 diprediksi akan mengalami pertumbuhan. Bank Indonesia (BI) sendiri optimis proyeksi tersebut akan berada pada kisaran 5-5,4%, artinya lebih baik sedikit dibandingkan tahun lalu yang berada di level 5%.

Direktur Eksekutif Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Juda Agung, mengatakan pertumbuhan kredit perbankan diperkirakan meningkat terutama seiring penurunan suku bunga kredit dan selesainya konsolidasi perbankan di 2016. Namun, tetap ada sejumlah tantangan yang mesti diantisipasi ke depan oleh otoritas agar peluang optimisme tersebut dapat dimanfaatkan.

“Tantangan terutama bahwa kita masih dihadapkan kepada ketidakpastian kebijakan ekonomi Amerika Serikat,” kata Juda dalam Seminar Indonesia Economic Outlook 2017 Selasa (31/1) di Jakarta.

Juda menambahkan, BI masih menunggu kebijakan fiskal dan perdagangan yang akan dikeluarkan oleh Amerika Serikat (AS). Dua sektor tersebut ditengarai menjadi risiko yang cukup besar untuk dihadapi Indonesia. Sepanjang kebijakan fiskal dan perdagangan itu agresif, maka Indonesia dapat memanfaatkan momentum tersebut untuk penguatan ekonomi dalam negeri. (Baca Juga: Penegak Hukum Mulai Bidik Tindak Pidana yang Manfaatkan Money Changer Ilegal)

Akan tetapi, ada kabar baik di mana komoditas ekspor tengah mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Kuartal III–Kuartal IV tahun 2016 misalnya, komoditas batu bara mengalami kenaikan mencapai 50%. Hal tersebut mestinya menjadi peluang bagi Indonesia. Tren ini diprediksi akan berlanjut pada 2017 seiring membaiknya ekonomi China. Meski demikian, fondasi ekonomi harus terus diperkuat agar pertumbuhan tetap kokoh dan tidak mudah terpengaruh kondisi global yang penuh tantangan.

“Tahun lalu adalah tahun konsolidasi. Tahun ini adalah recovery,” kata Juda.

Sebelumnya, pada pertemuan antara sejumlah pimpinan lembaga dan kementerian yang tergabung dalam Tim Pengendalian Inflasi (TPI) dan Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (Pokjanas TPID) pada 25 Januari 2017 kemarin, telah dihasilkan enam strategi untuk menjaga inflasi berada pada kisaran sebesar 4% ±1%tahun 2017 dan 3,5%±1% tahun 2018. Sebagaimana diketahui, inflasi 2016 tercatat sebesar 3,02% (yoy) dimana angka tersebut terendah sejak tahun 2010.

BI dan Pemerintah juga menyepakati sasaran inflasi tahun 2019, 2020, dan 2021 masing-masing sebesar 3,5%±1%, 3%±1%, dan 3%±1%. Sasaran yang lebih rendah itu ditetapkan dengan mempertimbangkan prospek dan daya saing perekonomian serta bertujuan untuk mengarahkan ekspektasi inflasi pada tingak yang rendah dah stabil. Selain itu, BI dan Pemerintah juga berkomitmen untuk terus memperkuat koordinasi, terutama dalam hal penentuan besaran dan timing kebijakan energi, pengendalian dampak lanjutan (second round effect), dan penguatan kebijakan pangan untuk menekan inflasi Volatile Food menjadi di kisaran 4-5%.
6 Langkah Strategis BI dan Pemerintah Jaga Inflasi 2017 dan 2018
1.    Menekan laju inflasi volatile food (VF) menjadi di kisaran 4-5%, melalui:
  1. penguatan infrastruktur logistik pangan di daerah, khususnya pergudangan untuk penyimpanan komoditas;
  2. membangun sistem data lalulintas barang, khususnya komoditas pangan;
  3. penggunaan instrumen dan insentif fiskal untuk mendorong peran pemerintah daerah dalam stabilisasi harga;
  4. mendorong diversifikasi pola konsumsi pangan masyarakat, khususnya untuk konsumsi cabai dan bawang segar, antara lain dengan mendorong inovasi industri produk pangan olahan;
  5. penguatan kerjasama antar daerah;
  6. mempercepat pembangunan infrastruktur konektivitas; dan
  7. memperbaiki pola tanam pangan.
2.    Mengendalikan dampak lanjutan dari penyesuaian kebijakan AP, seperti pengendalian tarif angkutan umum;
3.    Melakukan sequencing kebijakan AP, termasuk rencana implementasi konversi beberapa jenis subsidi langsung menjadi transfer tunai (a.l. pupuk, raskin, dan LPG 3Kg);
4.    Memperkuat kelembagaan TPI dan Pokjanas TPID melalui Perpres menjadi Tim Pengendalian Inflasi Nasional;
5.    Memperkuat koordinasi Pemerintah Pusat dan Daerah dengan penyelenggaran Rakornas VIII TPID tahun 2017 pada bulan Juli 2017; dan
6.    Memperkuat bauran kebijakan Bank Indonesia untuk memastikan tetap terjaganya stabilitas makroekonomi.
 Sumber: Departemen Komunikasi BI, Januari 2017.

Gubernur BI, Agus D.W. Martowardojo dalam kesempatan yang lalu menyebutkan bahwa ada tiga potensi yang perlu dioptimalkan demi mendorong resiliensi atau daya tahan perekonomian nasional. Pertama, kepercayaan dan keyakinan yang tinggi dari pelaku ekonomi terhadap. Kedua, sumber pembiayaan ekonomi yang besar. Ketiga, perkembangan teknologi digital yang pesat dan mendukung kegiatan ekonomi. Agus meyakini, ketiga potensi tersebut dapat memperkuat dan mendukung kegiatan ekonomi.

“Prospek ekonomi Indonesia tahun 2017, yang diperkirakan masih kondusif. Pertumbuhan ekonomi 2017 diperkirakan berada pada rentang 5,0-5,4%, terutama ditopang permintaan domestik,” kata Agus akhir November tahun lalu.

Agus menambahkan, kepercayaan pelaku ekonomi terhadap pemerintah akan terbangun lebih kuat apabila pihak-pihak terkait terus menjaga kedisiplinan dalam mengelola kebijakan fiskal dan moneter serta terus menjaga konsistensi kebijakan reformasi struktural. Dari sisi sumber pembiayaan, program pengampunan pajak menjadi momentum yang kuat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, dan menjadi modal penting untuk memperluas ruang fiskal secara sehat. Sementara perkembangan ekonomi digital yang pesat dan sehat sangat diperlukan untuk mendukung kegiatan ekonomi digital yang lebih merata, seperti pada aktivitas e-commerce dan financial technology(Fintech).

Selain itu, Agus juga menegaskan pentingnya tiga fungsi dasar kebijakan publik, yaitu fungsi stabilisasi sebagai dasar pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, fungsi alokasi untuk menjamin penggunaan berbagai sumber daya sesuai prioritas dan efisien, dan fungsi distribusi untuk pemerataan hasil-hasil pembangunan. Prinsip sinergi menjadi salah satu hal yang perlu dipedomani. Kebijakan yang dikeluarkan harus harmonis dan terintegrasi antar pemangku kebijakan, baik di pusat maupun daerah. BI berusaha mengoptimalkan bauran kebijakan untuk memperkuat stabilitas ekonomi, yang selanjutnya akan menopang fungsi alokasi dan fungsi distribusi.

“Dalam jangka menengah, ekonomi Indonesia diperkirakan tumbuh lebih tinggi karena ditopang struktur ekonomi yang lebih kuat dan berkualitas,” sebut Agus.
Arah Kebijakan BI Tahun 2017
 
1.    Dari sisi moneter, BI secara konsisten mengendalikan inflasi agar sesuai dengan sasarannya dan menjaga defisit transaksi berjalan pada tingkat yang sehat. Di tahun 2017, BI akan memperkenalkan Giro Wajib Minimum (GWM) Averaging, guna memberikan ruang fleksibilitas pengelolaan likuiditas bagi bank. Optimalisasi SBN sebagai instrumen moneter secara bertahap juga akan dilakukan untuk menggantikan SBI. Bank Indonesia juga akan terus menjaga stabilitas nilai tukar dan melakukan percepatan pendalaman pasar keuangan.

2.    Kebijakan makroprudensial, akan diarahkan pada upaya memperkuat dan memperluas cakupan pengawasan (surveillance) makroprudensial terhadap rumah tangga, korporasi dan grup korporasi nonkeuangan. Dalam kerangka Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK), BI akan segera menyempurnakan perangkat protokol manajemen krisis dan ketentuan yang terkait dengan fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort. BI juga terus mengintegrasikan pengembangan sektor keuangan komersial syariah dan keuangan sosial syariah.

3.    Bidang sistem pembayaran, BI memiliki beberapa strategi untuk memperkuat kelembagaan dan infrastruktur sistem keuangan domestik untuk mendukung inisiasi program yang telah berjalan sebelumnya. Beberapa inisiatif yang akan dilaksanakan dan ditingkatkan adalah BI Fintech Office yang dilengkapi fungsi regulatory sandbox, National Standard of Indonesian Chip Card Specification (NSICCS), serta National Payment Gateway. BI juga terus mendorong inklusi keuangan, antara lain dengan mengimplementasikan Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI), serta mendukung penggunaan nontunai elektronik dalam program dan layanan Pemerintah.

Sumber: Departemen Komunikasi BI, November 2016.

Seperti halnya BI, langkah strategis juga dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D Hadad menyebutkan bahwa OJK akan mengeluarkan sejumlah regulasi sepanjang tahun 2017 terutama regulasi yang akan menjaga stabilitas sistem keuangan. Pertama, OJK akan menerbitkan peraturan mengenai pengelolaan risiko likuiditas konglomerasi, manajemen permodalan konglomerasi, dan intragroup transaction. Terkait transaksi intragroup, OJK menilai penting dibuat aturan lantaran ada potensi risiko tersendiri saat melakukan transaksi dalam sesama grup.(Baca Juga: Belasan Regulasi Ini Akan Diterbitkan OJK Tahun 2017)

“Kita akan mengacu kepada praktik yang lazim diterapakan internasional. Kita usahakan detailnya pada tahun ini,” kata Muliaman pertengahan Januari 2017 yang lalu.

Kedua, OJK juga akan mengeluarkan aturan terkait manajemen likuiditas. Nantinya, peran Global Master Repurchase Agreement (GMRA) akan dioptimalkan serta akan memperbaiki infrastrukturnya melalui electronic platform. Selain itu, OJK juga ingin memastikan bahwa ketentuan Liquidity Coverage Ratio (LCR) dapat ditetapkan kepada bank-bank besar seperti bank Buku III dan Buku IV serta bank asing.

“Kita akan membentuk Lembaga Pendanaan Efek (Securities Financing) yang berfungsi sebagai penyedia likuiditas sekaligus meningkatkan efisiensi penyelesaian transaksi efek,” tambah Muliaman.

Ketiga, OJK akan menyelesaikan utang aturan terkait UU Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Misalnya, ketentuan mengenai recovery plan bank sistemik dimana aturan pelaksanaan ini akan memperjelas konsepBail In yang selaras dengan praktik di Indonesia. Termasuk juga program restrukturisasi perbankan dan juga penyempurnaan tindak lanjut pengawasan bank dan pendirian bank perantara. (Baca Juga: KSSK Fokus Selesaikan 6 Aturan Pelaksanaan UU Pencegahan dan Penanganan Krisis)

Pasal 54 UU Nomor 9 Tahun 2016 mengamanatkan bahwa peraturan pelaksanaan paling lama ditetapkan setahun sejak aturan ini diundangkan pada 15 April lalu, yakni 15 April 2017. Dari penelusuran hukumonline, aturan pelaksana sebagaimana dalam UU PPKSK berupa Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan BI (PBI), Peraturan OJK (POJK), serta Peraturan LPS dengan total enam aturan. Bila dirinci, terdapat satu POJK, dua PP, dan tiga Peraturan LPS.

Terkait dengan POJK, mesti dibuat ketentuan mengenai penanganan permasalahan solvabilitas bank sistemik dan persiapan penanganan bank sistemik sebagaimana disebutkan dalam Pasal 21 ayat (8) UU Nomor 9 Tahun 2016. Terkait dengan PP, mesti dibuat ketentuan mengenai besaran bagian premi untuk pendanaan Program Restrukturisasi Perbankan sebagaimana diamanatkan Pasal 39 ayat (4) UU Nomor 9 Tahun 2016 dan mesti dibuat ketentuan mengenai tata cara penghapusbukuan dan penghapustagihan sebagaimana disebut Pasal 46 ayat (7) UU Nomor 9 Tahun 2016.

Keempat, OJK juga akan merampungkan ‘utang’ aturan pelaksanaan terkait UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Upaya merampungkan tunggakan aturan pelaksanaan ini dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan sekaligus mendorong bisnis Industri Keuangan non Bank (IKNB). UU Perasuransian mengamanatkan OJK untuk membentuk 41 POJK. Namun, berdasarkan kajian serta analisis ternyata hanya dibutuhkan total 16 POJK terkait dengan aturan turunan dari undang-undang tersebut. (Baca Juga: Ini Empat Tunggakan POJK Sektor Asuransi)

“Itu sudah keluar tapi peraturan pelaksana belum lengkap semua,” kata Muliaman.

Dari total 16 POJK itu, OJK baru berhasil merampungkan 12 POJK pada tahun 2015 lalu. Dua POJK dirampungkan tahun 2016. Sementara sisa dua POJK lagi antara lain mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) dan mengenai pelaporan perusahaan asuransi dan reasuransi. (Baca Juga: Ini Perbedaan UU Perasuransian yang Baru dan Lama)

Kelima, OJK akan membuat aturan terkait syariah baik di perbankan maupun pasar modal. catatan OJK tahun 2015-2016, industri syariah baik perbankan dan pasar modal masih fokus pada tataran konsolidasi. Tahun ini, OJK fokus mengembangkan industri syariah ini dengan membuat unit atau lembaga syariah baru misalnya di sektor pasar modal. Bentuknya masih belum dapat dipastikan, setidaknya semacam unit pengelolaan investasi syariah atau manajer investasi syariah. (Baca Juga: Ada 5 Dokumen Tambahan Sebelum Emiten Lakukan Merger atau Konsolidasi)

“Kita akan memulai pembangunan Jakarta Intenational Islamic Financial Centre (JIIFC). Ini merupakan awal mewujudkan cita-cita menjadikan Indonesia sebagai sentra pengembangan keuangan syariah regional. Detailnya akan disampaikan mengenai waktu dan kapannya,” papar Muliaman.
Tags:

Berita Terkait