Relaksasi Kredit: Rescheduling atau Restrukturisasi?
Kolom

Relaksasi Kredit: Rescheduling atau Restrukturisasi?

Saat ini pemerintah harus menyempurnakan POJK Nomor 11/POJK.03/2020 dengan memberikan pedoman terhadap batasan rescheduling dan restrukturisasi yang diijinkan oleh OJK sebagai regulator.

Bacaan 2 Menit

Dalam hal ini perlu dipahami bahwa esensi rescheduling berbeda dengan restrukturisasi, sehingga kebijakan penundaan pembayaran angsuran belum tentu secara efektif mampu menolong nasabah debitur, sekaligus menyelamatkan industri perbankan dari ‘badai NPL’ selepas Covid-19 berlalu. Asumsi rescheduling akan efektif jika nasabah debitur dalam kurun waktu tertentu kemampuan membayarnya akan pulih seperti sebelumnya, sebaliknya kebijakan rescheduling ini tidak akan efektif jika kemampuan nasabah debitur tidak serta merta pulih setelah pandemi Covid-19 berlalu.

Dalam perspektif hukum perbankan akan ada resiko yang tinggi bagi dunia perbankan jika penerapan rescheduling pada portofolio kredit terlalu banyak. Mengingat dalam rescheduling bank sama sekali tidak mendapat pemasukan dari kredit. Meskipun dalam hal ini rescheduling dapat dilakukan secara parsial yakni menunda bunga atau pokoknya. Namun jika yang dimaksud pemerintah adalah total rescheduling maka akan ada potensi krisis perbankan.

Jadi dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kebijakan rescheduling kredit bukan satu satunya solusi yang tepat. Bahkan tingginya tingkat rescheduling pada portofolio kredit perbankan dapat menyebabka persoalan sistemik perbankan. Dengan demikian pemerintah perlu memberikan acuan lain selain rescheduling kredit sehingga selain memberikan relaksasi bagi nasabah debitur juga tidak terlalu membebani bank.

Solusi hukum lainnya bagi relaksasi kredit perbankan sehubungan dengan adanya pandemi adalah restrukturisasi. Restrukturisasi dikatakan sebagai salah satu solusi hukum terbaik untuk mengatasi krisis. Sebagaimana diuraikan oleh Ballamy et all (2009), bahwa dengan restrukturisasi nasabah dapat memperoleh penyelesaian masalah sesuai dengan kondisinya masing masing, disamping bank tetap berpotensi untuk mendapat pemasukan dari sektor kredit.

Pemasukan dari sektor kredit sangatlah penting bagi bank karena dengan masih adanya pemasukan dari sektor kredit maka bank tetap dapat menjalankan fungsi intermediarinya dan memenuhi capital adequacy ratio yang dipersyaratkan.Sebaliknya tingginya kebijakan rescheduling total pada portofolio kredit akan menyebabkan gangguan fungsi intermediary bank yang pada akhirnya akan berdampak secara sistemik pada bank tersebut.

Demikian pula dengan kebijakan restrukturisasi nasabah debitur akan dapat memperoleh insentif dari pemerintah yang disalurkan melalui perbankan, misalnya insentif suku bunga maupun insentif lainnya. Dalam kondisi tingginya beban keuangan maka restrukturisasi merupakan sarana hukum yang paling tepat guna mewujudkan relaksasi yangdimaksudkan oleh pemerintah untuk mengatasi lesunya ekonomi akibat pandemi.

Dengan restrukturisasi maka nasabah debitur dapat memperoleh suku bunga non komersial, demikian juga dengan adanya re-modelling perjanjian kredit maka bank kembali secara lancar dapat memperoleh pembiayaan dan terhindar dari ‘badai NPL’. Sebaliknya bagi nasabah debitur tetap dapat menikmati relaksasi dengan status collectability yang sempurna, yakni collectability satu, dengan demikian bank tidak perlu menaikkan pencadangan dana akibat tidak ada pemasukan dan NPL.

Saat ini pemerintah harus menyempurnakan POJK Nomor 11/POJK.03/2020 dengan memberikan pedoman terhadap batasan rescheduling dan restrukturisasi yang diijinkan oleh OJK sebagai regulator. Mengingat dalam hal ini setiap kebijakan rescheduling maupun restrukturisasi harus mengikuti pedoman yang diberikan oleh OJK. Dalam hal ini selain pedoman tersebut harus memberi batas yang jelas juga perlu ditekankan soal urgensi waktu, mengingat dalam kondisi pandemi waktu memiliki peran yang penting dalam dunia usaha. Idealnya aturan tersebut berisi petunjuk pelaksanaan rescheduling dan restrukturisasi terkait dengan Covid-19.

*)Dr.Rio Christiawan,S.H.,M.Hum.,M.Kn. adalah Faculty Member International Business Law Universitas Prasetiya Mulya.

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Universitas Prasetiya Mulya dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait